Oleh:
Ayatullah Muntadzor*
Sekitar
tahun 2007-2008 poligami mulai menjadi hal yang banyak dibicarakan oleh
masyarakat Indonesia, hal ini seiring dengan adanya kasus poligami yang
dilakukan oleh salah seorang da’i kondang terkenal KH. Abdullah Gymnastiar saat
itu. Kasus poligami mulai menjadi buah bibir Masyarakat, Ulama’, Cendikiawan,
bahkan Politikus di senayan yang sampai berencana untuk membuat undang-undang
tentang poligami. Namun ternyata hingga dewasa ini poligami masih menjadi bahan
yang seru untuk didiskusikan, karena masih banyak hal yang menjadi
kontroversial dan perlu untuk dikaji ulang, contoh kecilnya seperti konsep
keadilan dalam Islam, banyak yang mengatakan adil dalam harta masih bisa
dilakukan, namun adil dalam perasaan merupakan hal yang sangat sulit dilakukan.
Sehingga konsep adil pun masih banyak meninggalkan kontroversial.
Terlepas
dari segala kontroversial yang terjadi, ada beberapa hal yang mungkin sering
dikesampingkan dan dianggap telah selesai, namun perlu untuk diverifikasi dan
dikaji ulang. Salah satunya adalah pemahaman tentang batasan jumlah seorang
muslim diperbolehkan untuk berpoligami. Dalam beberapa literatur tafsir klasik
maupun modern, kebanyakan para ulama` sepakat berpendapat bahwa batasan
berpoligami adalah maksimal dengan empat orang wanita. Namun apakah pendapat
itu benar adanya? Coba perhatikan ayat yang menjadi obyek pembahasan ini, QS.
An-Nisa`ayat 3:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
“Dan
jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Dalam
berbagai macam penafsiran terhadap ayat
di atas, sebagian ulama` ada yang berpendapat bahwa berpoligami boleh sampai
dengan sembilan orang wanita dengan metode penafsiran menambahkan angka dua,
tiga, dan empat. Namun jumhur al-’ulama` berpendapat bahwa ayat
di atas adalah littakhyìr, yaitu
memilih dengan dua, tiga dan dibatasi dengan empat orang wanita, sebagaimana
yang tertera dalam kitab-kitab tafsir klasik seperti dalam kitab Ibnu Katsir, Jalalain, Sya’rawi dan
kitab-kitab tafsir lainnya. Namun sejenak tinggalkan pendapat-pendapat itu dan
sedikit membuka cakrawala pemikiran kontemporer, sehingga membuka kemungkinan
untuk melanjutkan budaya tafsir agar tidak stagnan dan tidak berhenti cukup
dengan penafsiran-penafsiran klasik yang terkadang terasa kurang relevan dengan
situasi dan kondisi terkini.
Berangkat
dari keinginan seperti inilah, muncul nalar kritis dan pertanyaan apakah benar
ayat di atas membatasi poligami maksimal hanya dengan empat wanita saja? Coba perhatikan,
ayat ini terletak pada ayat ke-3 dari surat An-Nisa`, sedangkan ayat pertama
dari surat ini diawali dengan kalimat yà
ayyuhannàs yang artinya “wahai manusia”, berbeda dengan ayat yang diawali dengan
kalimat yà ayyuhalladzìna àmanù yang
artinya “wahai orang-orang yang beriman”, konotasi ayat yang diawali dengan
kata yà ayyuhalladzìna àmanù berarti
semua hukum atau perintah yang
terkandung dalam ayat itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman
saja, sedangkan ayat yang diawali dengan kata yà ayyuhannàs konotasinya berarti semua hukum dan perintah dalam
ayat itu untuk seluruh umat manusia, sehingga semua hukum dan perintah yang
terkandung dalam ayat di atas diperuntukkan untuk seluruh umat manusia tanpa pengecualian,
baik yang menganut ajaran Islam, kafir, lajang, ataupun yang sudah menikah.
Dari
pengertian di atas timbul sebuah pemikiran yang unik. Kalau seandainya sebelum
ayat ini turun, waktu itu sudah ada laki-laki yang beristri dua, kemudian turun
ayat ini yang membolehkan seorang laki-laki untuk menambah lagi dengan dua,
tiga, bahkan empat orang wanita lagi, berarti dia bisa memiliki istri empat,
lima, bahkan sampai enam wanita. Kalau seandainya waktu itu sudah ada yang
beristri tiga, berarti setelah ayat ini turun diperbolehkan untuk menambah lagi
menjadi lima, enam, bahkan sampai tujuh istri, dan begitu seterusnya. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa Islam sebenarnya tidak membatasi seorang lelaki untuk
berpoligami. Bilangan empat dalam ayat 3 surat An-Nisa` ini bukan untuk menjadi
batas, tapi sepertinya memang hanya untuk menunjukkan arti banyak, seperti
halnya ketika Al-Qur`an berbicara tentang bilangan seratus sebagai balasan bagi
orang yang bersedekah. Seperti halnya juga ketika Al-Qur`an berbicara tentang
bilangan enam dalam penciptaan alam semesta, karena dalam penelitian terkini,
ternyata alam ini diciptakan justru dalam kurun waktu yang sangat lama, sehingga
kata bilangan ini bukan sebagai batas, tapi hanya untuk menunjukkan bahwa
segala sesuatu di dunia ini pasti berproses.
Dari
pemahaman inilah dapat disimpulkan bahwa ayat di atas sebenarnya
mengindikasikan dalam Islam seorang lelaki diperbolehkan berpoligami dengan
berapapun wanita yang disukainya. Namun perlu di ingat bahwa ayat ini tidak hanya
berhenti dalam pembahasan jumlah berpoligami saja. Setelah pembahasan jumlah
berpoligami, ayat ini dilanjutkan dengan peringatan dari Allah yang berbunyi ”kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja”. Nah, inilah sebenarnya inti dari ayat
di atas, bahwa jika seorang lelaki masih belum mampu untuk bersikap adil baik
harta maupun perasaan terhadap istri-istrinya, maka cukuplah satu istri saja
baginya, agar tidak terjadi kedzaliman dalam pernikahannya, sebagaimana
firman-Nya di akhir ayat ini ”yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.”. Wallahu
A’lam.
“ Jauh Lebih
Mudah Mengelola PERUSAHAAN, daripada
PERASAAN”
-KH.
Abdullah Gymnastiar-
NB: *Penulis adalah Mahasiswa semester
3 fakultas Ushuluddin Institut PTIQ Jakarta asal Madura.
Mantabbb lah.
BalasHapusHeheheh :-D