PENDAHULUAN
Thaharah berarti bersih ( nadlafah ), suci ( nazahah ) terbebas ( khulus ) dari kotoran ( danas ). Menurut syara’ thaharah itu adalah mengangkat ( menghilangkan ) penghalang yang timbul dari hadats dan najis. Dengan demikian thaharah syara’ terbagi menjadi dua yaitu thaharah dari hadats dan thaharah dari najis.
Thaharah dari hadats ada tiga macam yaitu wudhu, mandi, dan tayammum. Alat yang digunakan untuk bersuci adalah air mutlak untuk wudhu’ dan mandi, tanah yang suci untuk tayammum.
Dalam makalah ini juga dibahas tentang penyebutan adzan sebagai tanda waktu sholat. Dimana Rasulullah juga mempraktikkan adzan untuk sholat fardhu, tidak seorang pun pernah tahu bahwa beliau memerintahkan adzan untuk selain shalat fardhu. Tetapi ada juga pendapat bahwa adzan hanya digunakan untuk sholat fardhu dan iqamah saja.
PEMBAHASAN
AYAT TENTANG THAHARAH DAN ADZAN
Al-Maidah: 6
$pkš‰r'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% ’n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ‰÷ƒr&ur ’n<Î) È,Ïù#t�yJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3Å™râäã�Î/ öNà6n=ã_ö‘r&ur ’n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#rã�£g©Û$$sù 4 bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó�£D ÷rr& 4’n?tã @�xÿy™ ÷rr& uä!%y` Ó‰tnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#r߉ÅgrB [ä!$tB (#qßJ£Ju‹tFsù #Y‰‹Ïè|¹ $Y6ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3ƒÏ‰÷ƒr&ur çm÷YÏiB 4 $tB ߉ƒÌ�ムª!$# Ÿ@yèôfuŠÏ9 Nà6ø‹n=tæ ô`ÏiB 8lt�ym `Å3»s9ur ߉ƒÌ�ムöNä.t�ÎdgsÜãŠÏ9 §NÏGãŠÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3ø‹n=tæ öNà6¯=yès9 šcrã�ä3ô±n@ ÇÏÈ
6. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
Asbabun nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa kalung Siti ‘Aisyah jatuh dan hilang di suatu lapangan dekat kota Madinah. Rasulullah saw. memberhentikan untanya, lalu turun untuk mencarinya. Kemudian beliau beristirahat hingga tertidur di pangkuan Siti ‘Aisyah. Tidak lama kemudian datanglah Abu bakar menampar Siti ‘Aisyah sekerasnya seraya berkata “kamulah yang menahan orang-orang karena sebuah kalung!” Nabi saw. terbangun dan tibalah waktu subuh. Beliau mencari air tapi tidak mendapatkannya. Maka turunlah ayat ini (QS. Al-maidah:6). Berkatalah Usaid bin Mudlair: “Allah telah memberi berkah kepada manusia dengan sebab keluarga abu bakr.” Ayat tersebut mewajibkan berwudu’ atau bertayammum sebelum shalat [1].(Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘amr bin al-Harits, dari Abdurrahman bin Qashim, dari bapaknya, yang bersumber dari ‘Aisyah)
Dalam riwayat lain dikemukakan, setelah terjadi peristiwa hilangnya kalung ‘Aisyah yang menimbulkan fitnah besar, pada sutu ketika, dalam suatu peperangan beserta Rasulullah saw., kalung ‘Aisyah jatuh lagi. Orang-orang pun terhalang pulang karena perlu mencari kalung yang hilang itu. Berkatalah Abu bakr pada ‘Aisyah: “Wahai anakku, tiap-tiap perjalanan engkau selalu menjadi bala dan menjengkelkan orang lain”. Maka Allah menurunkan ayat ini (QS. Al-maidah:6) yang membolehkan tayammum. Abu bakar berkata: “sesungguhnya engkau membawa berkah.[2]”(Diriwayatkan ole hath-Thabarani dari Abdullah bin Zubair yang bersumber dari ‘Aisyah.)
Makna Hukum
Secara dzahir ayat إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ (apabila kamu hendak mengerjakan shalat……dst( menunjukkan bahwa wudhu’ wajib bagi setiap orang yang hendak mengerjakan shalat, sekalipun ia tidak berhadats. Namun para ulama’ sepakat bahwa wudhu’ tidak wajib selain bagi orang yang berhadats.
Dengan demikian restriksi atau pembatasan wajib wudhu’ bagi orang yang berhadats dipandang tidak diungkapkan (tetapi sudah tercakup) dalam ayat tersebut, sehingga makna ayat tersebut menjadi: “apabila kamu hendak mengerjakan shalat padahal kamu sedang berhadats, maka…..dst. mereka menakwilkan ayat tersebut dengan makna yang demikian itu ialah karena adanya ijma’, bahwasanya wudhu’ itu tidak wajib selain orang yang berhadats, dan karena di dalam ayat tersebut terdapat petunjuk kepada makna yang demikian itu, yakni bahwasanya tayammum adalah pengganti whudu’ dan menduduki kedudukannya. Di dalam ayat tesebut kewajiban bertayammum dibatasi dengan adanya hadats. Karena itu yang menjadi pokok yaitu wudhu’, harus dibatasi dengan adanya hadats, agar yang menjadi pengganti yaitu tayammum dapat menduduki kedudukan yang pokok itu. Juga karena perintah berwudhu’ itu sejajar dengan perintah mandi janabat, yang terikat dengan hadats besar, sebagaimana difirmankan Allah
وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا (dan jika kamu junub maka mandilah), maka perintah yang sejajar dengan perintah mandi yaitu perintah berwudhu’ harus terikat dengan adanya hadats kecil.
Selanjutnya ayat ini menerangkan cara-cara bertayammum. Jika seseorang dalam keadaan sakit dan tidak boleh memakai air, atau dalam keadaan musafir tidak menemukan air untuk berwudhu’, maka wajib bertayammum dengan debu tanah. Caranya dengan meletakkan kedua belah telapak tangan pada debu tanah yang bersih lalu disapukan ke muka, kemudian meletakkan lagi kedua telapak tangan ke atas debu tanah bersih, lalu telapak tangan yang kiri menyapu tangan kanan mulai dari belakang jari-jari tangan terus ke pergelangan sampai dengan siku, dari siku turun ke pergelangan tangan lagi untuk menyempurnakan penyapuan yang belum tersapu, sedang telapak tangan yang sebelah kanan yang berisi debu tanah jangan diganggu untuk disapukan pula ke tangan sebelah kiri dengan cara yang sama seperti menyapu tangan kanan. Demikian cara nabi bertayammum.
Kemudian akhir ayat ini menjelaskan bahwa perintah berwudhu’ dan tayamum bukanlah untuk mempersulit kaum muslimin, tetapi untuk menuntun mereka mengetahui cara-cara bersuci, dan untuk menyempurnakan nikmat-Nya, agar kaum muslimin menjadi umat yang bersyukur.[3]
Pendapat ulama’
Mengenai hukum mengusap kepala dan bagaimana ukurannya, para Fuqaha telah sepakat untuk menetapkan, bahwa mengusap kepala adalah termasuk salah satu dari fardunya wudhu’, berdasarkan firman allah وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ...... (dan usaplah kepalamu). Tetapi mereka berbeda presepsi tentang ukuran mengusap itu. Dalam hal ini ada beberapa pendapat:[4]
Ø Ulama’ Malikiyah dan Hanabila mengatakan, wajib mengusap seluruh kepala, karena hati-hati (ihtiyath)
Ø Ulama’ Hanafiyyah berpendapat, wajib mengusap seperempat kepala saja, karena mengikuti jejak Nabi saw. yang mengusap ubun-ubunya saja.
Ø Ulama’ Syafiyyah berpendapat, cukup mengusap sebagain kecil dari kepala, asalkan sudah dikatakan “mengusap” walaupun hanya beberapa helai rambut saja, karena berdasarkan keyakinan.
Madzhab maliki dan madzhab Hambali berhujjah dari hal wajibnya seluruh kepala diusap dengan menerangkan bahwa partikel بِ (dalam وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ......) dapat merupakan kata yang berfungsi (sebagai kata depan), akan tetapi dapat juga merupakan kata lebih jadi tidak berfungsi) yang dicantumkan untuk memperkuat makana. Memandang partakel بِdi sini sebagai kata lebih (tanpa fungsi) adalah lebih utama, sehingga kalimat وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ (dan usaplah kepala).
Para ulama’ kedua madzhab itu menerangkan bahwasanya ayat yang membicarakan masalah menyapu seluruh muka, dalam firmannya: فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ (maka sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu). Maka karena dalam tayamum diwajibkan menyapu seluruh muka, demikian juga halnya dengan mengusap kepala dalam wudhu’, harus seluruh kepala diusap tidak diperbolehkan mengusap hanya sebagaian kepala saja. Ketentuan ini diperkuat oleh perbuatan Nabi saw. Bahwasanya telah itsbat, bahwa apabila mengambil wudhu’, mengusap seluruh kepala.
Sedangakan madzhab Hanafi dan syafi’i berhujjah bahwa بِ dalam بِرُءُوسِكُمْ adalah kata yang mempunyai arti “sebagian” ia bukan kata lebih, tanpa fungsi. Jadi: وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ maknanya وَامْسَحُوا بَعْضَ بِرُءُوسِكُم (dan usaplah sebagian kepalamu). Hanya dalam hal ini madzhab Hanafi memperkirakan sebagian kepala itu dengan seperempat kepala berdasarkan Hadits yang diriwayatkan Al-Mughirah bin Syu’bah bahwasanya Nabi saw. pada suatu hari dalam perjalanan kemudian kalian pergi untuk kala hajat, setelah itu beliau kembali, lalu mengambil wudhu’ dan mengusap ubun-ubunnya.
Ulama’-ulama’ madzhab Syafi’i mengatakan bahwa بِ adalah kata yang mempunyai arti “sebagian”. Maka seminimum-minimum perbuatan yang masih dapat disebut “mengusap” sudah masuk dengan yakin dalam katagori “mengusap”. lebih dari pada itu tidak termasuk fardhu (kewajiban), melainkan hanya sunnat belaka.
Imam Asy-Syafi’i berkata: “firman Allah swt. وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ memberi kemungkinan artinya: “mengusap sebagian kepala” dan “mengusap seluruh kepala”. Perbuatan Nabi saw. Menunjukkan bahwa mengusap sebagian kepala diperbolehkan, yaitu bahwasanya Nabi saw. Mengusap ubun-ubunnya.
Dibagian lain Imam Asy-Syafi’i berkata: “seandainya ada yang mengatakan bahwa Allah swt. Dalam masalah tayamum berfirman: Apakah boleh menyapu sebagian muka saja dengan tanah dalam tayamum itu?” maka jawabannya: “ menyapu muka dalam tayamum adalah pengganti membasuh muka dalam wudhu’. Analogik atau sejalan dengan itu maka menyapu muka dalam tayammum harus meliputi semua bagian muka yang dibasuh dalam wudhu’. Hal ini berbeda dengan masalah mengusap kepala dalam wudhu’. Yang merupakan dasar (bukan analogi). Inilah perbedaan antara keduanya.[5]
Al-Qurtubi berkata: ulama’-ulama’ kita menanggapi hadits (yang meriwayatkan bahwa Nabi saw. mengusap ubun-ubunnya) dengan mengatakan : “ Mungkin Nabi saw. berbuat demikian itu karena suatu uzur, apa lagi perbuatan itu dilakuakn oleh Nabi saw. dalam perjalanan, sedang perjalan itu adalah tempat memperoleh uzur dan kesempatan untuk bergesa-gesa dan mempersingkat. Lagi pula, Nabi saw. tidak cukup dengan mengusap ubun-ubunnyasaja, bahkan sampai mengusap serbannya juga. Sekiranya mengusap seluruh kepala itu tidak wajib, maka nabi saw. tidak akan mengusap serbannya.
Al-Maidah: 58
#sŒÎ)ur öNçG÷ƒyŠ$tR ’n<Î) Ío4qn=¢Á9$# $ydrä‹sƒªB$# #Yrâ“èd $Y6Ïès9ur 4 š�Ï9ºsŒ óOßg¯Rr'Î/ ÓQöqs% žw tbqè=É)÷ètƒ ÇÎÑÈ
58. Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.
Asbabun Nuzul
Ayat berikut diturunkan ketika orang-orang Yahudi menanyakan kepada Nabi saw. kepada rasul mana sajakah ia beriman?. Jawannya “Kepada Allah, dan kepada apa-apa yang diturunkan kepada kami….sampai akhir ayat”. Ketika Nabi saw. menyebut nama Isa, mereka berkata: “ Sepengetahuan kami tidak agama yang lebih buruk dari agamamu!” (kaum orang-orang Yahudi benci kepada orang-orang Nasrani, pent).[6]
Makna Hukum
Ayat ini menjelaskan sebagian dari ejekan dan permainan orang-orang kafir tentang agama Islam, yaitu apabila umat Islam mengajak mereka untuk untuk sholat maka orang-orang kafir itu menjadikan ajakan itu bahan ejekan dan permainan sambil menertawakan mereka.
Menurut riwayat Ibnu jarir dari as-Suddi, ia menceritakan, bahwa ada seseorang laki-laki Nasrani di Madinah, apabila ia mendengar seruan adzan Asyhadu anna Muhammad Rasulullah (saya mengaku bahwa sesungguhnhya Muhammad adalah rasul Alah), ia berkata, Haraq al-Kazzab (semoga terbakarlah pembohong itu). Kemudian pada suatu malam pembantu rumah tangganya datang masuk membawa api dan jatuhlah butiran kecil dari api yang dibawanya, sehingga menyebabkan rumah itu terbakar semuanya dan terbakar pulalah laki-laki Nasrani tersebut beserta keluarganya ketika sedang tidur.
Selanjutnya diterangkan bahwa perbuatan orang-orang kafir yang demikian, disebabkan karena mereka adalah kaum yang tidak mau mempergunakan akal dan tidak mau tahu tentang hakikat agama Allah yang mewajibkan mereka mengagungkan dan memuja-Nya.
Andaikata mereka mempergunakan akal secara wajar, tanpa dipengaruhi oleh rasa benci dan permusuhan, maka hati mereka akan khusu’, apabila mereka mendengar adzan dengan suara yang merdu, apabila jika mereka mengerti dan memahami adzan yang dimulai dengan kata-kata yang mengagungkan Allah.
Imam syaf’i berkata bahwa dalam ayat tersebut Allah swt. Menyebutkan adzan sebagai tanda waktu sholat. Rasulullah juga mempraktikkan adzan untuk sholat fardhu, tidak seorang pun pernah tahu bahwa beliau memerintahkan adzan untuk selain shalat fardhu. Akan tetapi, zuhri, meriwayatkan dari Rasulullah swt. bahwa beliau memerintahkan adzan dalam shalat dua hari raya. Dia kemudian berkata, ‘adzan hanya untuk shalat fardhu, demikian pula dengan iqamat.[7]
An-Nisa’:43
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qç/t�ø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3“t�»s3ß™ 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s? Ÿwur $·7ãYã_ žwÎ) “Ì�Î/$tã @@‹Î6y™ 4Ó®Lym (#qè=Å¡tFøós? 4 bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó�£D ÷rr& 4’n?tã @�xÿy™ ÷rr& uä!$y_ Ó‰tnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#r߉ÅgrB [ä!$tB (#qßJ£Ju‹tFsù #Y‰‹Ïè|¹ $Y7ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3ƒÏ‰÷ƒr&ur 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #‚qàÿtã #·‘qàÿxî ÇÍÌÈ
43. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ‘abdurrahman bin ‘Auf mengundang makan ‘Ali dan kawan-kawannya. Kemudian dihidangkan minumam khamar (arak/minuman keras), sehingga terganggulah otak mereka. Ketika tiba waktu shalat, orang-orang menyuruh ‘Ali menjadi imam, dan pada waktu itu beliau membaca dengan keliru, Qul ya ayyuhal kafirun; la a’budu ma ta’budun; wa nahnu na’budu ma ta’budun (katakanlah: “Hai orang-orang kafir; Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah; dan kami akan menyembah apa yang kamu sembah”). Maka turunlah ayat tersebut di atas (QS. An-Nisa’: 43) sebagai larangan shalat dalam keadaan mabuk.[8] (diriwayatkan oleh Abu Daud , at-Tirmidzi, an-Nasa’I, dan al-hakim, yang bersumber dari ‘Ali)
Makna hukum
Orang mslim mukmin dilarang mengerjakan shalat pada waktu mereka sedang mabuk. Mereka tidak diperbolehkan shalat sehingga mreka menyadari apa yang dibaca dan apa yang dilakukan dalam shalat. Pada waktu dalam keadaan mabuk itu memungkinkan beribadat dengan khusuk. Ayat ini belum mengharamkan khamar secara tegas, namun telah memperingatkan kaum Muslim akan bahaya minum khamar sebelum diharamkan sama sekali.
Dalam ayat ini juga dijelaskan bahwa orang mukmin dilarang melaksanakan shalat pada waktu ia berhadats besar. Larangan ini akan berakhir setelah ia mandi janabah, karena mandi akan membersihkan lahir dan batin. Di antara hikmah mandi, apabila seseorang sedang lesu, lelah dan lemah biasanya akan menjadi segar kembali, setelah ia mandi.[9]
Lazimnya meskipun shalat dapat dilakukan dimana saja, shalat itu sebaiknya dilakukan di masjid. Maka orang yang sedang junub dilarang shalat, juga dilarang berada di masjid kecuali sekedar lewat saja karena ada keperluan. Dalam hal ini ada riwayat yang menerangkan bahwa seorang sahabat nabi dari golongan ansar, pintu rumahnya di pinggir masjid. Pada waktu junub, ia tidak dapat keluar rumah kecuali melewati masjid, maka ia dibolehkan oleh Rasulullah swt melewatinya dan tidak memerintahkan menutup pintu rumahnya yang ada di pinggir masjid itu
Dapat dimaklumi bahwa orang yang shalat harus suci dari hadats kecil, yaitu hadats yang timbul oleh misalnya: karena buang air kecil atau suci dari hadats besar sesudah bersetubuh. Menyucikan hadats itu adalah dengan wudhu’ atau mandi. Untuk berwudu’ atau mandi kadang-kadang orang-orang tidak mendapatkan air, atau ia tidak boleh terkena air karena penyakit tertentu, maka baginya dalam keadaaan serupa itu diperbolehkan tayammum yaitu mengusap muka dan tangan dengan debu tanah yang suci.
Yang dimaksud dengan au lamastum an-nisa’ ialah menyentuh perempuan yang bukan mahram. Maka menyentuh perempuan mengakibatkan hadats kecil yang dapat dihilangka dengan wudhu’ atau tayamum. Apabila seseorang buang air kecil atau besar, maka kedua hal itu menyebabkan hadats kecil yang dapat dihilangkan dengan wudhu’. Setiap orang yang buang air kecil atau besar diwajibkan menyucikan dirinya dengan membersihkan tempat najis itu dengan istinja’. Hal itu dapat dilakukan dengan memakai air atau benda-benda suci yang bersih seperti batu, kertas kasar. Diantara ulama’ ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “menyentuh perempuan” dalam ayat ini adalah bersetubuh, sedang bersetubuh mengakibatkan hadats besar yang dapat dihilangkan dengan mandi jinabah.[10]
Hukum-hukum yang tersebut di atas menunjukkan bahwa Allah tidak memberati hamba-Nya di luar batas kemampuannya, karena Dia adalah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun.
Al-Mudatsir: 4-6
y7t/$u‹ÏOur ö�ÎdgsÜsù ÇÍÈ t“ô_”�9$#ur ö�àf÷d$$sù ÇÎÈ Ÿwur `ãYôJs? çŽÏYõ3tGó¡n@ ÇÏÈ
4. Dan pakaianmu bersihkanlah, 5. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah, 6. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.
Makna Hukum
(4) Dalam ayat ini, allah memerintahkan Nabi Muhammad supaya membersihkan pakaian. Makna membersihkan pakaian menurut sebagian ahli tafsir adalah:[11]
Ø Membersihkan pakaian dari segala najis dan kotoran karena bersuci dengan maksud beribadah hukumnya wajib, dan selain beribadah hukumnya sunnah. Mebrsihkan di sini juga termasuk cara memperolehnya yaitu pakaian yang digunakan harus diperoleh dengan cara halal. Ketika ibnu Abbas ditanya orang tentang ayat ini, beliau menjawab bahwa firman Allah tersebut berarti larangan memakai pakaian untuk perbuatan dosa dan penipuan. Jadi menyucikan pakian adalah membersihkannya dari najis dan kotoran. Pengertian yang lebih luas lagi, yakni membersikan tempat tinggal dan lingkungan hidup dari segala bentuk bentuk kotoran, sampah, dal lain-lain. Sebab pakaian, tubuh, dan lingkngan yang kotor banyak terdapt dosa. Sebaliknya dengan membersihkan badan, tempat tinggal, dan lain-lain berarti berusaha menjauhkan diri dari dosa. Demikian para ulama’ Syafi’iyah mewajibkan membersihkan pakaian dari najis bagi orang yang hendak shalat. Begitulah Islam mengharuskan para pengilutnya untuk selalu hidup bersih, karena kebersihan jasmani mengangkat manusia kepada akhlak yang mulia.
Ø Membersihkan pakaian berarti membersihkan rohani dari segala watak dan sifat-sifat tercela. Khusus buat Nabi Muhammad, ayat ini memerintahkan beliau menyucikan nilai-nilai nubuwwah (kenabian) yang dipikulnya dari segala yang mengotorinya (dengki, dendam, pemarah, dan lain-lain). Pengertian kedua ini bersifat kiasan (majazi), dan memang dalam bahasa arab kadang-kadang menyindir orang yang tidak menepati janji denagn memakai perkataan, “Dia suka mengotori (pakaian)-nya”. Sedangkan orang yang suka menepati janji selalu dipuji dengan ucapan, “Dia suka membersihkan baju (pakaian)-nya”.
Secara singkat, ayat ini memerintahkan agar membersihkan diri, pakaian, dan lingkungan dari segala najis, kotoran, sampah, dan lain-lain. Disamping itu juga berarti perintah memelihara kesucian dan kehormatan pribadi dari segala perangai yang tercela.
Seperti hanya benda-benda yang termasuk najis ialah kencing, tahi, muntah, darah, mani hewan, nanah, cairan luka yang membusuk, ( ma’ al- quruh ), ‘alaqah, bangkai , anjing, babi ,dan anak keduanya, susu binaang yang tidak halal diamakan kecuali manusia, cairan kemaluan wanita.Jumhur fuqaha juga berpendapat bahwa khamr adalah najis, meski dalam masalah ini banyak sekali perbedaan pendapat dilingkungan ahli Hadits.
Berbagai tempat yang harus dibersihkan lantaran najis, ada tiga tempat, yaitu : tubuh, pakaian dan masjid. Kewajiban membersihkan pakaian didasarkan pada firman Allah pada surat al- Mudatsir ayat 4.
Benda yang dipakai untuk membersihkan najis yaitu air. Umat Islam sudah mengambil kesepakatan bahwa air suci yang mensucikan bisa dipakai untuk membersihkan najis untuk ketiga tempat tersebut. Pendapat lainnya menyatakan bahwa najis tidk bisa dibersihkan (dihilangkan ) kecuali dengan air. Selain itu bisa dengan batu, sesuai dengan kesepakatan ( imam malik dan asy- syafi’I ).
Para ulama mengambil kata sepakat bahwa cara membersihkan najis adalah dengan membasuh ( menyiram ), menyapu, mencipratkan air. Perihal menyipratkan air, sebagian fuqaha hanya mangkhususkan untuk membersihkan kencing bayi yang belum menerima tambahan makanan apapun.
Cara membersihkan badan yang bernajis karena jilatan anjing adalah dengan membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali, salah satu diantaranya dicampur dengan tanah. Hal ini berdasarkan Hadits Rasul SAW, yang artinya “ menyucikan bejana seseorang kamu, apabila anjing minum di dalam bejana itu , ialah dengan membasuhnya tujuh kali , yang pertama diantaranya dengan tanah.
(5) Selanjutnya Nabi Muhammad diperintahkan supaya meninggalkan perbuatan dosa seperti menyembah berhala atau patung. Kata ar-rujz yang dimaksud adalah perintah menjauhkan segala sebab yang mendatangkan siksaan, yakni perbuatan maksiat. Termasuk yang dilarang oleh ayat ini ialah mengerjakan segala macam perbuatan yang menyebabkan perbuatan maksiat.
Membersihkan diri dari dosa apalagi bagi seorang dai adalah suatu kewajiban. Sebab, kalau pada diri sang dai sendiri diketahui ada cela dan aib oleh masyarakat, tentu perkataan dan nasihatnyasulit diterima orang.[12]
(6) dalam ayat ini, Nabi Muhammad dilarang memberi dengan maksud memperoleh yang lebih banyak . Artinya dengan usaha dan ikhtiar mengajak manusia ke jalan Allah, serta dengan ilmu dan risalah yang disampaikan. Beliau dilarang mengharapkan ganjaran atau upah yang lebih besar dari orang-orang yang diserunya. Tegasnya jangan menjadiakan dakwah sebagai objek bisnis yang mendatangkan keuntungan duniawi. Bagi seorang nabi lebih ditekankan lagi agar tidak mengharapkan upah sama sekali dalam dakwah, guna memelihara keluhuran martabat kenabian yang dipikulnya. [13]
KESIMPULAN
Ø Setiap orang yang berhadats kecil yang hendak mengerjakan shalat, wajib mengambil wudu lebih dahulu dengan air yang suci bersih. Apabila tidak ada air atau dalam keadaan sakit yang tidak boleh memakai air, maka sebagai gantinya harus bertayammum dengan debu tanah yang bersih
Ø Penyebutan adzan sebagai tanda waktu sholat. Dimana Rasulullah juga mempraktikkan adzan untuk sholat fardhu,tetapi ada juga pendapat bahwa adzan hanya digunakan untuk sholat fardhu dan iqamah saja.
Ø Dilarang melakukan shalat dalam keadaan mabuk. Begitu juga orang yang sakit tidak boleh kena air, seorang musafir atau orang yang sedang bunag air besar maupun kecil bila tidak mendapatkan air untuk berwudhu’ , maka ia boleh bertayamum.
Ø Memerintahkan agar membersihkan diri, pakaian, dan lingkungan dari segala najis, kotoran, sampah, dan lain-lain sebelum menunaikan shalat. Begitu juga anjuran meninggalkan perbuatan dosa.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahannya
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2008)
Muhammad Ali Ash-Shabuni. Rawai’ul Bayan Tafsir, terj. Moh. Zuhri, Moh. Qodirun Nur (Suriah: Maktabah Al-Ghazali, 1977 )
Imam Jalaluddin Al-Mahalli, Imam Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalin, terj. Bahrun Abubakar.(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009)
Ahmad Musthafa Al-Farran, Tafsir Imam Syafi’I, terj. Ferdian Hasmad, Fuad (Jakarta: Almahira, 2008)
Q. Saleh, A.A. Dahlan. Asbabun nuzul. (Bandung: CV Penerbit Diponogoro, 2007)
[4] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rawai’ul Bayan Tafsir, terj. Moh. Zuhri, Moh. Qodirun Nur (Suriah: Maktabah Al-Ghazali, 1977 ) hal. 390
[6]Imam Jalaluddin Al-Mahalli, Imam Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalin, terj. Bahrun Abubakar. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009) jilid I, hal. 456
mas, kan pernah liat ada azan yang dikumandangkan pada saat mengantar jenazah, pada saat mengantar keberangkatan haji, padahal azan kan ajakan sholat, itu bagaimana hukumnya, bagaimana seharusnya yang benar, terimakasih sebelumnya.
BalasHapus