ZAKAT DALAM PRESPEKTIF EKONOMI

A. Deskripsi Masalah

Dalam pandangan ahli fiqih pembahasan tentang zakat merupakn suatu bagian dari pembahasan hukum isslam.sebagian dari pembahasan hukum, pembahasan zakat terfokus pada sah dan tidak sah pemungutan dan penyerahan zakat, boleh atau tidak bolehnya pemungutan dan penyerahan zakat, wajib atau tidak wajibnya sesuatu kekayaan dipungut zakatnya dan sebagainya.

Zakat adalah ibadah yang mengandung dua dimensi: dimensi hablum minalloh atau dimensi vertical dan dimensi hablumminannas atau dimensi horizontal.Ibadah zakat bila ditunaikan dengan baik, akan meningkatkan kualitas keimanan, membersihkan dan menyujikan jiwa, dan mengembangkan serta memberkahakan harta yang dimiliki. Jika dikelola dengan baik dan amanah serta mampu meningkatkan etos dan etika kerja umat, serta sebagai institusi pemerataan ekonomi.

Zakat merupakan bagian dari Rukun Islam yang ketiga dan merupakan suatu sumber pokok dalam penataan ekonomi di dalam Islam. Ekomomi yang berintikan zakat akan memunculkan sifat tazkiyah yaitu ekonomi yang dipenuhi dengan nilai-nilai zakat yaitu nilai kebersihan, kejujuran, keadilan, pertumbuhan, perkembangan dan penghargaan serta penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia.

Masalah-masalah pokok ekonomi mencakup pilihan-pilihan yang berkaitan dengan konsumsi, produksi, distribusi dan pertumbuhan sepanjang waktu. Jika zakat mampu dikelola dengan baik dan di dayagunakan dengan baik dan merata akan menjadikan sistem ekonomi menjadi adil dan stabil dan akan memperkecil jurang antara orang kaya dan miskin.

Seiring dengan berkembangnya sektor-sektor perekonomian zaman ini menjadikan zakat semakin berkembang, bagaiman kita melihat pada sektor pertanian, sector industri yang mana terus mengalami peningkatan, kemudian sektor jasa yang sekarang banyak diminati oleh masyarakat.seperti usaha yang terkait dengan surat berharga dll. Yang mana sektor tersebut akan menjadikan sumber obyek zakat semakin luas dan meningkat.

Dengan berkembangnya obyek zakat tersebut membuat para pakar ilmu hukum Islam menawarkan konsep-konsepnya,seperti yang telah di rumuskan oleh Masdar F Fuadi bahwasannya profesi, perusahaan, surat-surat berharga, perdagangan mata uang, hewan ternak yang diperdagangkan, investasi properti, asuransi syari’ah merupakan obyek yang dikenai zakat.

B. Teori Zakat Prespektif Ekonomi

Untuk bisa melahirkan satu format hukum Islam yang eksistensinya menjaga diri pada kemaslahatan universal menghargai rasa keadilan sosial dan hak asasi manusia, maka ijtihad menjadi ikhtiar pertama yang mutlak harus dilakukan. Pandangan umum mengenai ijtihad yang selama ini berjalan bisa dikatakan hanya menjangkau sasaran atau hal-hala yang bersifat zhanni (teks yang tidak pasti) dan kurang mencermati dimensi ajaran yang diyakini seagai qot’I (teks yang dianggap pasti). Menurut masdar, dengan meletakkan maslahat seagai asas ijtihad maka konsep lama tentang qot’i dan zhanni harus segera dicarikan rumusan barunya.[1]

Dalam pandangan masdar, apa yang disebut sebagai dalil qot’I adalah nilai kemaslahatan dan keadilan, yang merupakan jiwa dari hukum itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud dalil zhonni adalah seluruh ketentuan teks, ketentuan normative yang bisa digunakan untuk menterjemahkan yang qot’I (nilai kemaslahatan dan keadilan) dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu ijtihad tidak bisa terjadi pada wilayah qot’I, dan hanya bisa dilkukan pada wilayah zhonni .[2]

Berangkat dari konsep qot’I dan zhonni yang ditawarkan masdar, ia lantas menawarkan konsep baru tentang zakat. Dalam amatannya, zakat merupakan ajaran pokok Islam yang paling dekat dengan inti persoalan yang banyak dihadapi umat manusia yakni ketidakadilan. Ajaran zakat bukanlah ajaran untuk kepentingan umat Islam saja, melainkan ajaran untuk kemaslahatan dan keadilan semesta. Inti dari ajaran zakat yang mutlak, universal, dan tidak berubah adalah (1) siapa pun yang memiliki kelebihan harta maka ia harus menginfakkan sebagian harta yang diterimanya itu, (2) harta ynga diinfakkan oleh atau dipungut dari yang mampu itu harus ditasarufkan untuk kemaslahatan seluruh anggota masyarakat, dengan memprioritaskan mereka yang lemah. Disamping orang-orang islam sendiri tetap harus mendapat perhatian dalam pembagian zakat, agar bisa meringankan beban ekonomi mereka. Kemaslahatan yang dimaksud adalah kemaslahatan menyeluruh, lintas, agama, suku dan golongan.[3]

Umat islam khusunya para umaro’ dan ulama’, tidak bisa melepaskan tanggung jawab atas terjadinya ketidakadilan semesta yang disebakan oleh Negara. Dengan memisahkan ajaran zakat dari lembaga pajak, umat islam telah benar-benar memisahkan Negara dari agama. Pemisahan ini menyebabkan umat islam menanggung beban yang sangat berat karena harus melaksanakan dua macam kewajiban, yaitu menunaikan zakat sebagai kewajiban agama dan membayar pajak sebagai kewajiban warga Negara. Akibatnya kewajiban mengeluarkan zakat selalu terkalahkan oleh keharusan memayar pajak.[4]

Gagasan yang menarik yang harus kita garis bawahi dari masdar adalah tentang obyek zakat yang harus diperluas cakupannya. Untuk zaman sekarang tidaklah adil jika kita hanya menggunakan pungutan sedekah wajib atas kurma dan anggur, semetara itu kelapa sawit, apel, kopi, dan tembakau yang tidak kalah nilai ekonomisnya, kita bebaskan saja dari kewajiban membayar zakat. Tidak adil juga ketika kita kenakan beban sedekah wajib atas pendapatan pada sektor pertanian sedangkan dari sektor industri dan jasa kita bebaskan. Jika Nabi SAW tidak membicarakan suatu jenis kekayaan tertentu maka hal itu hanya karena jenis kekayaan tersebut belum ada pada masa Nabi. Sebab jika suatu jenis tersebut ada pada zaman nabi maka tentu ia juga dikenakan zakat, seperti jenis kekayaan yang lain yang telah ditentukan. Oleh karena itu tidak perlu lagi kita memahami jenis barang yang wajib dikeluarkan oleh zakatnya seperti yang disebut dalam nash, akan tetapi lebih penting adalah menangkap subtansi dari kewajiban zakat itu sehingga diperluas cakupannya.[5]

C. Teori Zakat Prespektif Didin Hafidudin

Al-Qur’an merupakan rujukan dan sumber hukum utama kaum muslimin, al-Qur’an telah banyak menyinggung sumber zakat dengan dua pendekatan. Yakni pendekatan Ijmali (global) segala macam harta yang dimiliki yang memenuhi persaratan zakat. Dan yang kedua pendekatan Tafsili (teruari) yaitu menjelaskan beberapa jenis harta yang apabila telah memenuhi persaratan zakat , maka wajib dikeluarkan zakatnya, dengan pendekatan ijmali ini semua jenis harta yang belum ada contoh konkritnya zaman Rasulullah SAW, akan tetapi karena perkembangan ekonomi, menjadi benda yang bernilai, maka harus dikeluarkan zakatnya.[6]

Kriteria-kriteria yang digunakan untuk menetapkan sumber zakat sebagai contoh yang dibahas, adalah sebagai berikut:

1. Sumber zakat tersebut masih dianggap hal yang baru, sehingga belum mendapatkan pembahasan secara mendalam dan terinci. Berbagai macam kitab Fiqih, terutama kitab fiqih terdahulu belum banyak membicarakannya, misalnya zakat profesi.

2. Sumber zakat tersbebut merupakan ciri utama ekonomi modern, sehingga hampir di setiap Negara berkembang, merupakan sumber zakat yang potensial contoh zakat investasi properti, zakat perdagangan mata uang, dll.

3. Sementara ini zakat selalu dikaitkan dengan kewajiban kepada perorangan, sehingga badan hukum yang melakukan kegiatan usaha tidak dimaksudkan ke dalam sumber zakat. Padahal zakat itu disamping harus di lihat dari segi muzaki, juga harus di luhat dari segi hartanya. Karena sumber zakat badan hukum perlu mendapatkan pembahasan, misalnya zakat perusahaan.

4. Sumber zakat sektor modern yang mempunyai nilai yang sangat signifikan yang terus berkembang dari waktu ke waktu dan perlu mendapatkan perhatian secara keputusan status zakatnya, seperti usaha tanaman anggrek,burung wallet, ikan hias dll. Demikian pula sektor rumah tangga modern pada segolongan tertentu kaum muslimin yang bercukupan, bahkan cenderung berlebihan, hal ini dapat tercermin dalam jumlah dan harga kendaraan serta aksesoris rumah tangga yang dimilikinya.[7]

Dalam kaitannya dengan perekonomian modern yang terdiri dari sektor pertanian, industri dan jasa jika dikaitkan dengan kegiatan zakat, maka ada yang tergolong flows dan ada pula yang tergolong pada stoks[8].flows ialah berbagai aktifitas ekonomi yang dapat dilakukan dalam waktu jam, hari, ulan, dan tahun tergantung pada akadnya. Sedangkan stoks adalah hasil kotor yang dikurangi keperluan keluarga dari orang perorang yang harus dikenakan zakat pada setiap tahunnya sesuai dengan nisob.

Dengan menggunakan metode purposive sampling berdasarkan kriteri-kriteria diatas maka terpilihlah sumber zakat yang beraneka ragam seperti contoh di bawah ini:

a. Zakat profesi

b. Zakat perusahaan

c. Zakat surat-surat berharga

d. Zakat perdagangan mata uang

e. Zakat hewan ternak yang diperdagangkan

f. Zakat madu dan produk hewani

g. Zakat investasi properti

h. Zakat Asuransi Syariah

i. Zakat tanaman anggrek, ikan hias, burung wallet

j. Zakat Aksesoris rumah tangga modern

D. Zakat Dalam Prespektif Islam

Semua penghasilan melalui kegiatan professional tersebut, apabila telah mencapai nishob, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini berdasarkan nashnya yang umum. Misalnya Firman Alloh dalam surat Adz-Dzariyaat: 19

þÎûur öNÎgÏ9ºuqøBr& A,ym È@ͬ!$¡¡=Ïj9 ÏQrãóspRùQ$#ur ÇÊÒÈ

Artinya:

Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian

Al-Qurtubi[9] (Wafat 671 M) dalam Tafsir al-Jami li Ahkam al-Qur’an menyatakan bahwa yang dimaksud dalam surat adz-Dhariyat ayat 19 adalah zakat yang diwajibkan, artinya semua harta yang dimiliki dan semua penghasilan yang didapatkan, jika telah memenuhi persyaratan kewajiban zakat, maka harus dikeluarkan zakatnya.

Sayyid Qutub[10] (Wafat 1965 M) dalam tafsirnya Fi Dhilalil Qur’an ketika menafsirkan firman Alloh dalam surat al-Baqarah ayat 267 menyatakan , bahwa nash ini mencakup seluruh hasil manusia yang baik dan halal dan mencakup pula seluruh yang dikeluarkan oleh Alloh dari dalam dan atas bumi, seperti hasil pertanian, maupun hasil pertambnagan seperti minyak. Karena itu nash itu mencakup sema harta, baik yang terdapat pada masa Rosululloh maupun zaman sesudahnya, maka semuanya wajib dikeluarkan zakatnya dengan ketentuan dan kadar sebagiaman yang telah diterangkan dalam sunnah Rasululloh, baik yang sudah diketahui secara langsung, maupun yang diqiyaskan kepadanya.

Sementara itu para Muktamar Internasional Pertama tentang zakat di Kuwait (29 Rajab 1404 H bertepatan dengan tanggal 30 April 1984 M) telah sepakat tentang wajibnya zakat profesi apabila telah mencapai nishob, meskipun mereka berbeda pendapat tentang cara pengeluarannya. Dalam pasal 11 ayat v2 Bab IV Undang-Undang No 38 Tahun 1999 yentang pengelolaan zakat, dikemukakan bahwa harta yang dikenai zakat adalah: emas, perak, uang, perdagangan dan perusahaan, hasil pertanian,perkebunan,perikanan, pertambangan, peternakan, hasil pendapatan dan jasa dan rikaz.

Para ulama terdahulu pun maupun sekarang mengistilahkan harta yang wajib di zakati dengan menggunakan istilah al-Amwal, dan sebagian ulama yang lain menggunakan istilah khusus al-Maal al-Mustafad seperti yang ada dalam fiqh zakat dan al-fiqh al-Islami wa Adillatuhu[11]

Alasan yang lain sesuai dengan ciri agama Islam adalah prinsip keadilan tentang penetapan kewajiban zakat pada setiap harta yang dimiliki akan terasa sangat jelas, dibandingkan hanya dengan menetapkan kewajiban zakat pada komoditas-komoditas tertentu saja yangh konvensional. Petani yang saat ini kondisinya secara umum kurang beruntung, tetap harus berzakat ketika sudah satu nishob. Karena itu sangat adil pula apabila zakat inipun bersifat wajib pada penghasilan yang didapatkan para dokter, ahli hukum, konsultan dll.

E. Analisis

Berdasarkan landasan-landasan yang telah disebutkan diatas kiranya penulis dapat mengambil kesimpulan bahwasannya semua harta yang dapat dari hasil yang halal dan yang mempunyai nilai lebih satu nishob maka wajib dikeluarkan zakatnya sesuai dengan qiyasnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ø Fuad.Mahsun, 2005. Hukum Islam Indonesia dari nalar partisipatoris hingga emasipatoris: Yogyakarta;lkis

Ø Didin Hafidudin, 2002.Zakat Dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema INsani Pres

Ø Kahf .Monzer, 1995.Ekonomi Islam: Telaah Analitik tehadap fungsi system Ekonomi Islam, terj. Machnun Husein. Yogyakarta:Pustaka Pelajar,

Ø Al-Qurtubi, 1993. Tafsir al-Jami li Ahkam al-Quran, Beirut: Daar el-kutub Ilmiyah, ,

Ø Qutub .Sayyid, 1977.Fi Zhilalil Qur’an, (Beirut: Daar el-Surq,)

Ø Hafidudin.Didin, 2002. Zakat Dalam Perekonomian Modern. Jakarta:Gema INsani Pres



[1] Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia dari nalar partisipatoris hingga emasipatoris (Yogyakarta;lkis)2005 hal, 100

[2] Ibid, 100

[3] Ibid, 102

[4] Ibid, 102

[5] Ibid, hal 104

[6] Didin Hafidudin, Zakat Dalam Perekonomian Modern (Gema INsani Pres; Jakarta)2002, Hal:91

[7] Ibid, Hal:92

[8] Monzer Kahf, Ekonomi Islam: Telaah Analitik tehadap fungsi system Ekonomi Islam, terj. Machnun Husein, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1995), Hal, 86

[9] Al-Qurtubi, Tafsir al-Jami li Ahkam al-Quran, (Beirut: Daar el-kutub Ilmiyah,1993), Jilid IX, Hlm 37

[10] Sayyid Qutub, Fi Zhilalil Qur’an, (Beirut: Daar el-Surq, 1977), Juz 1, Hlm 310

[11] Didin Hafidudin, Zakat Dalam Perekonomian Modern (Gema INsani Pres; Jakarta)2002, Hal:94

[11] Ibid, Hal:92

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

3 Responses to "ZAKAT DALAM PRESPEKTIF EKONOMI"

  1. hoy.....
    sukses n pacu smngt lo key....
    demi menyebarkan syareat islam

    BalasHapus
  2. syukron da bs bantu q dlm penulisan makalah...

    BalasHapus
  3. yup sama-sama, smg menambah wawasan. mngenai daftar pustaka dan catatan kakilebih baek diteliti kembali.....

    BalasHapus

saran dan kritikan dari pembaca amat sangat sy harapkan