PENDAHULUAN
Al-Qur`an adalah sumber dari segala sumber ajaran Islam. Kitab suci
menempati posisi sentral bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan
ilmi-ilmu ke Islaman , tetapi juga merupakan inspirator dan pemandu
gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah pergerakan
umat ini.
Al-Qur`an ibarat lautan yang amat
luas, dalam dan tidak bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan
pernah sirna dan lekang di telan masa dan waktu. Maka untuk mengetahui dan
memahami betapa dalam isi kandungan al-Qur`an diperlukan tafsir. Penafsiran
terhadap al-Qur`an mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi
kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu sangat besar perhatian
para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna yang terkandung dalam kitab
suci ini. Sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan corak dan metode
penafsiran yang beraneka ragam pula, dan dalam penafsiran itu nampak dengan
jelas sebagai suatu cermin perkembangan penafsiran al-Qur`an serta corak
pemikiran para penafsirnya sendiri.
Ada beberapa metode yang digunakan
untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an diantaranya adalah metode Tafsir Al-Aqli
Al-Ijtihadiatau yang lebih dikenal dengan sebutan Tafsir
bil al-ra’yi (tafsir berdasarkan pikiran). Tafsir ini juga disebut tafsir
bi al-‘aqli, tafsir bi al-dirayah (tafsir berdasarkan pengetahuan) atau tafsir
bi al-ma’qul.
Tafsir bi al-ra’yi sering dipergunakan oleh para mufassir untuk melegitimasi
mazhabnya sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
sesuai dengan mazhabnya.
Metode
tafsir yang lain yaitu tafsir Al-Isyari atau tafsir
berdasarkan indikasi. Dalam hal ini akan akan kami ketengahkan definisi tafsir
AL-Isyari, syarat-syartanya, contoh-contohnya, beberapa perdebatan ulma’
tentang tafsir tersebut. Begitujuga Analisis Mengenai Kelebihan dan
Kekurangan Tafsir Al-Isyari.
PEMBAHASAN
TAFSIR BI AL-RA’YI (TAFSIR AL-AQLI AL-IJTIHADI)
Pemahaman makna ayat berpedoman kepada
penjelasan Al-Quran, Sunnah Rasulullah atau keterangan sahabat, selain itu juga
dilakukan dengan kemampuan yang ada pada akal melalui ijtihad.Ra’yu berasal
dari kata ra’aya, yang berarti melihat dengan akal pikiran, ra’yu dapat juga
diartikan sebagai berikut:[1]
Ø Qiyas, hal ini
dikarenakan orang-orang yang sering mempergunakan qiyas disebut Shahibul Ra’yi,
yaitu orang-orang yang suka menggunakan qiyas (analogi) dalam berdalil, karena
mereka tidak menemukan dalil, karena mereka tidak menemukan nash (hadist atau
atsar).
Ø Al-Ijtihad, arti inilah
yang dimaksudkan dengan ra’yu dalam makalah ini. Oleh karena itu tafsir bi
Ar-Ra’yi sering juga disebut dengan tafsir bi Al-Ijtihad, atau tafsir
Al-Ijtihadi, yaitu penafsiran dengan mengguakan ijtihad.
Tafsir
bil al-ra’yi (tafsir berdasarkan pikiran) ini juga disebut tafsir
bil ‘aqli, tafsir bi al-dirayah (tafsir berdasarkan pengetahuan) atau tafsir
bi al-ma’qul bagi mufassir yang mengandalkan ijtihad mereka dan tidak
didasarkan pada riwayat sahabat dan tabi’in. Sandaran mereka adalah bahasa
arab, budaya arab yang terkandung di dalamnya, pengetahuan tentang gaya bahasa
sehari-hari dan kesadaran akanpentingnya sains yang amat diperlukan oleh mereka
yang ingin menafsirkan Al-Quran[2]. Para
ulama mengajukan beberapa defenisi yang agak berbeda mengenai tafsir bi
Ar-Ra’yi, sebagaimana yang dikutip berikut ini:
Ø Menurut M. Aly Ash-Shabuny: “Tafsir bi
Ar-Ra’yi adalah Ijtihad yang didasarkan kepada dasar-dasar yang shahih, kaidah
yang murni dan tepat, biasa diikuti dan sewajarnya diambil oleh orang yang
hendak mendalami tafsir al-Qur’an atau mendalami pengertiannya, dan bukan
berarti menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan kata hati atau kehendak
sendiri.”[3]
Ø Menurut Manna’ al-Qaththan: “Tafsir bi
al-Ra’yi adalah metode penafsiran yang dipakai oleh mufassir dalam menerangkan
makna yang hanya berlandaskan kepada pemahamannya yang khusus dan mengambilnya
hanya berdasarkan pada akal saja, dan keterangan tersebut tidak didapat dari
pemahaman yang berjiwa syari’ah dan yang berdasarkan kepada nash-nashnya.”[4]
Dari
pengertian yang dikemukakan oleh kedua tokoh di atas memang terlihat perbedaan
persepsi mengenai defenisi tafsir bi al-Ra’yi itu sendiri, yang pertama
memberikan kesan positif terhadap tafsir bi al-Ra’yi dan menerangkan bahwa tafsir
bi al-Ra’yi tidak hanya sekedar buah pikir mufassir itu sendiri tetapi juga
berdasarkan kriteria-kriteria lain yang harus dipenuhi, sementara pada pendapat
yang kedua memberikan pengertian yang sempit terhadap tafsir bi al-Ra’yi yang
memberikan stressing mark pada pemakaian akal semata tanpa memberikan criteria
yang lain.[5]
Namun
bila diteliti lebih jauh dapatlah difahami bahwa tafsir bi al-Ra’yi adalah
menafsirkan al-Qur’an dengan berdasarkan pada pendapat ataupun ijtihad, dan
tidak berdasarkan pada apa yang dinukilkan oleh sahabat atau thabi’in, dengan
memperhatikan kaidah bahasa arab.
Perlu
dijelaskan bahwa meskipun para mufassir bi al-Ra’yi ini melakukan penafsiran
berdasarkan pemikiran, namun bukan berarti mereka hanya mengandalkan kemampuan
rasio semata, malah mereka dituntut untuk tidak sekedar memahami nilai-nilai
yang dikandung al-Qur’an dan sunnah tetapi juga harus memiliki kualifikasi
tersendiri, agar tafsir yang mereka kemukakan bisa diterima kredibilitasnya.
Adapun syarat-syarat mufassir bi al-Ra’yi ini
diantaranya:[6]
1.
Memiliki
pengetahuan bahasa Arab dan seluk beluknya.
2.
Menguasai
ilmu-ilmu al-Qur’an
3.
Menguasai
ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ilmu al-Qur’an, seperti Hadits dan Ushul
Fiqh.
4.
Beraqidah yang
benar.
5.
Mengetahui
prinsip-prinsip pokok agama Islam.
6.
Menguasai ilmu
yang berhubungan dengan pokok-pokok agama Islam.
7.
Menuasai ilmu
yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat yang ditafsirkan.
Kriteria-kriteria diatas haruslah dipenuhi para mufassir, agar tidak menimbulkan kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur’an.
Kriteria-kriteria diatas haruslah dipenuhi para mufassir, agar tidak menimbulkan kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur’an.
Sementara itu Dr. Ali Hasan
al-‘Aridh menambahkan mengenai 6 hal yang harus dihindari oleh Mufassir bi
al-Ra’yi yaitu:[7]
1.
Memaksakan diri
mengetahui makna yang dikehendaki oleh Allah pada suatu ayat, sedangkan ia
tidak memenuhi syarat untuk itu.
2.
Mencoba
menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah (otoritas Allah
semata).
3.
Menafsirkan
disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik
semata-mata berdasarkan persepsinya).
4.
Menafsirkan
ayat-ayat dengan makna-makna yang tidak dikandungnya
5.
Menafsirkan
ayat-ayat untuk mendukung suatu mazhab, dengan cara menjadikan faham mazhab
sebagai dasar, sedangkan penafsiran mengikuti paham mazhab tersebut.
6.
Menafsirkan
dengan disertai memastikan, bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian,
tanpa didukung oleh dalil.
Selama mufassir bi al-Ra’yi memenuhi
persyaratan dan menjauhi keenam hal tersebut, dibarengi pula dengan niat dan
tujuan yang ikhlas karena Allah, maka penafsirannya dapat diterima dan
pendapatnya dikatakan rasional. Namun bila ia tidak memenuhi kriteria diatas
berarti ia telah menyimpang dan oleh karena itu penafsirannya ditolak.[8]
Di samping persyaratan diatas, tafsir bi al-Ra’yi juga harus sesuai dengan tujuan syara’, jauh dari kesesatan dan kebodohan, serta bersandar pada sesuatu yang wajib dijadikan sandaran, sandaran yang harus dipedomi tersebut yaitu:[9]
1.
Naql dari
Rasulullah, berpegang pada hadits-hadits yang bersumber dari Rasulullah SAW,
dengan ketentuan ia harus waspada terhadap riwayat yang dhaif (lemah) dan
maudhu’ (palsu).
2.
Perkataan
sahabat, berpegang pada ucapan sahabat nabi, karena yang mereka ucapkan menurut
peristilahan hadits, hukumnya mutlak marfu’ (shahih atau hasan), khususnya yang
berkaitan dengan asbab an nuzul dan hal-hal lain yang tidak dapat dicampuri
oleh ra’yu.
3.
Berpegang pada
kaidah bahasa Arab, dan harus senantiasa berhati-hati untuk tidak menafsirkan
ayat-ayat yang menyimpang dari makna lafadz yang semestinya
Pembagian Tafsir Bi Al-Ra’yi
Para ulama tafsir mengklasifikasikan tafsir bi
al-Ra’yi kepada dua yaitu:
Ø Tafsir bi al-Ra’yi al-Mahmud, yaitu suatu
penafsiran yang berdasar dari al-Qur’an dan sunnah Rasul, sedangkan pelaku atau
mufassirnya adalah seorang pakar dalam bahasa Arab, baik gaya bahasanya, maupun
kaidah-kaidah hukum dan ushulnya. Tafsir bi al-Ra’yi al-Mahmud ini sesuai
dengan tujuan syara’, serta jauh dari kejahilan dan kesesatan. Tafsir semacam
ini selayaknya disebut tafsir yang terpuji atau tafsir yang syah.[10]
Adapun mengenai
hukumnya, para ulama membolehkan jenis tafsir ini, dengan mengajukan beberapa
alasan, diantaranya:[11]
1.
Firman Allah:
xsùr&tbrã/ytGtc#uäöà)ø9$#ôQr&4n?tãA>qè=è%!$ygä9$xÿø%r&ÇËÍÈ
Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran
ataukah hati mereka terkunci?[12]
serta ayat-ayat
lain yang mengajak untuk mentadabburkan al-Qur’an.
2.
Do’a Rasulullah
terhadap Ibnu Abbas: “Ya Allah fahamkanlah dia mengenai agama dan pandaikanlah
dia dalam ta’wil”. Hadits ini menunjukkan keistimewaan yang dimiliki Ibnu Abbas
yang mampu menggunakan Ijtihad dalam penafsirannya.
3.
Argumen yang
menyatakan bahwa bila tafsir bi al-Ra’yi tidak diperbolehkan maka banyak sekali
hal-hal yang nantinya tidak mempunyai hukum, karena tidak dibolehkannya
berijtihad padahal Rasulullah SAW menjanjikan bahwa orang yang berijtihad mendapat
pahala.
Tafir bi
al-Ra’yi al-Mahmud ini dibolehkan karena mufassir menafsirkan ayat dengan
memenuhi segala kualifikasi dan sesuai tujuan syar’i ditambah dengan ijtihadnya
sendiri
Ø Tafsir bi al-Ra’yi al-Madzmum, yaitu
penafsiran dengan tidak disertai ijtihad, tetapi disertai hawa nafsu.
Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan pendapat dan keyakinan mereka,
sehingga penafsiran itu membawa kepada arah pemikiran yang kosong, ditafsirkan
tanpa ilmu hanya menuruti kehendak dengan tidak mengetahui dasar-dasar bahasa
dan syari’at. Tafsir semacam ini disebut dengan tafsir yang tercela atau tafsir
palsu.[13]
Hukumnya adalah
haram. Dalil-dalil yang menunjukkan keharamannya cukup banyak, diantaranya :
Firman Allah
SWT, didalam surat al-Isra’: 36 yang berbunyi:
wurß#ø)s?$tB}§øs9y7s9¾ÏmÎ/íOù=Ïæ4¨bÎ)yìôJ¡¡9$#u|Çt7ø9$#ury#xsàÿø9$#ur@ä.y7Í´¯»s9'ré&tb%x.çm÷YtãZwqä«ó¡tBÇÌÏÈ
Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan[14]
Contoh Ayat
Yang Ditafsirkan Menurut Tafsir Bi Ra’yi
Ø Contoh Tafsir bi al-Ra’yi al-Mahmud
Salah satu
contoh penafsiran bi al-Ra’yi adalah penafsiran yang dikemukakan oleh imam al-Mahalli
dan imam as-Sayuthi dalam kitab tafsir kolaborasi mereka “Tafsir Jalalain”,
mengenai surat al-Isra’ ayat 85:
tRqè=t«ó¡ourÇ`tãÇyr9$#(È@è%ßyr9$#ô`ÏBÌøBr&În1u!$tBurOçFÏ?ré&z`ÏiBÉOù=Ïèø9$#wÎ)WxÎ=s%ÇÑÎÈ
85. Dan mereka bertanya
kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".[15]
Imam al-Mahalli
menafsirkan kata “ruh” bahwa sesungguhnya ruh itu adalah jasad atau jisim halus
(jism al-lathif), yang dengan masuknya ia ke dalam diri manusia, maka manusia
bisa hidup. Kemudian imam as-Suyuthi memberikan penafsiran bahwa perkara ruh
itu termasuk ilmu Allah Ta’ala. Sebab itu menahan diri dari memberikan
defenisinya adalah lebih baik.
Karena tafsir
ini termasuk tafsir bi al-Ra’yi yang ringkas maka kedua mufassir tersebut
memberikan penjelasan yang singkat dengan pendapatnya dan menafsirkan ayat
tersebut dengan mempertimbangkan maksud ayat dan syari’at.
Ø Contoh Tafsir bi al-Ra’yi al-Madzmum
Penafsiran yang
diriwayatkan dari sebagian orang bodoh yang mengaku alim dalam menafsirkan firman Allah ‘Azza
wa Jalla[16]
tPöqt(#qããôtR¨@à2¤¨$tRé&÷LÏiÏJ»tBÎ*Î/
Pada
hari (kiamat) Kami panggil tiap-tiap manusia denngan imannya .[17]
Menurutnya
bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah: Allah memenggil manusia pada
hari kiamat dengan nama ibunya karena hendak menutupi mereka.
Orang bodoh
tadi menafsirkan kaliamat “Al-Iman”dengan kalimat “Al-Ummahat”. Dia
mengira bahwa kata “Al-Iman” merupakan bentuk jamak dari kata ”Al-Ummu”.
Padahal bahasa arab menyalahkan anggapan tersebut. Karena jamaknya kata ”Al-Ummu”
adalah ”Al-Ummahat”, sebagaimana terdapat dalam firman Allah ‘’Azza
wa Jalla.
ãNà6çF»yg¨Bé&urûÓÉL»©9$#öNä3oY÷è|Êör&
Dan ibu-ibu
yang menyusukanmu.[18]
Jadi, jelas
bahwa kata “imam” bukanlah bentuk jamak dari kata “ummun”. Karena hal ini akan
menyalahi bahasa syarak. Adapun “imam” dalam ayat di atas adalah “Nabi” yang
diikuti oleh umatnya. Atau mungkin pula yang dimaksudkan adalah “kitabul A’mal”
(buku catatan amal) dengan dalil ujung ayat tersebut berbunyi:
ô`yJsùuÎAré&¼çmt7»tFÅ2¾ÏmÏYÏJuÎ/Í´¯»s9'ré'sùtbrâätø)tóOßgt7»tGÅ2wurtbqßJn=ôàãWxÏFsùÇÐÊÈ
Artinya:
Barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya Maka mereka ini
akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.[19]
Kitab-Kitab Tafsir Bi Al-Ra’yi
Kitab-kitab dibawah ini
dikategorikan sebagai kitab tafsir bi al-Ra’yi, karena dibuat oleh mufassir
yang di dalamnya membahas kitab tafsir tersebut menggunakan ra’yunya lebih
dominan dibandingkan dengan tafsir bi Ma’tsurnya.
Berikut ini dipaparkan beberapa
kitab-kitab tafsir bi al-Ra’yi yang termasyuryang berkembang dalam masyarakat
Islam dan menjadi pegangan umat, antara lain adalah:[20]
Ø Tafsir Anwarul Tanzil wa Asrarut Takwil, sususnan
Al-Baidhawy.
Ø Tafsir Mafatihul Ghaiby, susunan
Fakhruddin Al-Razy.
Ø Tafsir Irsyadul Aqlis Salim, susunan Abu
Su’udAl-Imady.
Ø Tafsir Ghara-ibul Quran wa Taqhaibul Furqan, susunan
Nizamuddin bin Muhammad An-Naisabury
Ø Tafsir Jalalain, susunan Jalaluddin
Muhammad Al-Mahally dan Jalaluddin Muhammad Al-Suyuty.
Ø Tafsir Madarikut Tanzil wa Haqa-iqut takwil, susunan
An-Nasafi.
Ø Tafsir Al-Sirajul Munir, susunan
Al-Khatib Al-Syabiny.
Ø Tafsir Ruhul Ma’ani, sususnan
Syihabuddin Al-Alusy.
Ø Tafsir Fathul Qadir, sususnan
Al-Imam Al-Syaukany.
Ø Tafsir Fathul Bayan, susunan
Siddiq hasan Khan
TAFSIR ISYARI (TAFSIR TASAWUF)
Di antara kelompok sufi (tasawuf)
ada yang mendakwakan bahwa riyadhah (latihan) ruhani yang dilakukan seorang
sufi bagi dirinya akan menyampaikan ke suatu tingkatan di mana ia dapat
menyikapkan isyarat-isyarat qudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan
Qur’an, dan akan tercurah pula ke dalam hatinya dari limpahan ghaib,
pengetahuan subhani yang dibawa ayat-ayat itulah yang disebut Tafsir al-Isyari.[21]
Untuk lebih jelas, dikutip beberapa
pengertian tafsir isyari yang diungkapkan oleh para ulama, yaitu sebagai
berikut :
Ø Tafsir Isyari adalah tafsir yang menta`wilkan ayat
tidak menurut zahirnya namun disertai usaha menggabungkan antara yang zahir dan
yang tersembunyi.”
Manna Khalil al-Qattan menyatakan bahwa setiap ayat mempunyai makna zahir dan makna batin (tersembunyi). Makna zahir ialah segala sesuatu yang segera mudah dipahami akal pikiran sebelum lainnya, sedangkan makna batin adalah isyarat-isyarat tersembunyi di balik itu yang hanya nampak dan diketahui maknanya oleh para ahli tertentu (ahli suluk).[22]
Manna Khalil al-Qattan menyatakan bahwa setiap ayat mempunyai makna zahir dan makna batin (tersembunyi). Makna zahir ialah segala sesuatu yang segera mudah dipahami akal pikiran sebelum lainnya, sedangkan makna batin adalah isyarat-isyarat tersembunyi di balik itu yang hanya nampak dan diketahui maknanya oleh para ahli tertentu (ahli suluk).[22]
Ø Tafsir al-Isyarisebagai:“Penafsiran al-Qur`an yang
berlainan menurut zahir ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat dan
hanya diketahui oleh sebagian ulama, atau hanya diketahui oleh orang yang
mengenal Allah yaitu orang yang berpribadi luhur dan telah terlatih jiwanya
(mujahadah)” dan mereka yang diberi sinar oleh Allah sehingga dapat menjangkau
rahasia-rahasia al-Qur`an , pikirannya penuh dengan arti-arti yang dalam dengan
perantaraan ilham ilahi atau pertolongan Allah, sehingga mereka bisa
menggabungkan antara pengertian yang tersirat dengan maksud yang tersurat dari
ayat al-Qur`an.”[23]
Ø Tafsir al-Isyari disebut juga tafsir Shufi, yaitu penafsiran
al-Qur`an dengan melibatkan kapasitas sufistik atau tasauf; mencoba memahami
ayat-ayat dengan mengungkapkan makna atau isyarat di balik makna zahir ayat.[24]
Ø Ulama Aliran tasauf praktis mengartikan Tasfir
al-Isyarat sebagai tafsir yang menakwilkan al-qur’an dengan penjelasan yang
berbeda dengan kandungan tekstualnya, yakni berupa isyarat-isyarat yang hanya
dapat ditangkap oleh mereka yang sedang menjalankan suluk (perjalanan menuju
Allah). Namun, terdapat kemungkinan untuk menggabumgkan antara penafsiran
tekstual dan penafsiran isyarat itu..[25]
Dengan kata lain Tafsir al-Isyari
adalah suatu tafsir di mana mufassir berpendapat dengan makna lain tidak
sebagai yang tersurat dalam al-Qur`an, tetapi penafsiran tersebut tidak
diketahui oleh setiap insan kecuali mereka yang hatinya telah dibukakan dan
disinari oleh Allah, yakni orang-orang yang saleh yaitu mereka yang telah
dikaruniai pemahaman dan pengertian dari Allah (al-Rasikhun). Sebagaimana
difirmankan oleh Allah sehubungan dengan kisah Nabi Khidhir dengan Nabi Musa
AS:
#yy`uqsù#Yö6tãô`ÏiB!$tRÏ$t6Ïãçm»oY÷s?#uäZpyJômuô`ÏiB$tRÏZÏãçm»oY÷K¯=tæur`ÏB$¯Rà$©!$VJù=ÏãÇÏÎÈ
Lalu
mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami
berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami.[26]
Allah telah menganugerahkan ilmu-Nya kepada Khidhir tanpa melalui proses
belajar sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang biasa. Ia memperoleh ilmu
karena ketaatan dan kesalihannya. Ia jauh dari maksiat dan dosa. Ia senantiasa
mendekatkan diri kepada Allah. Dalam kesuciannya, Khidhir diberikan ilmu dari
sisi-Nya yang dinamakan ilmu ladunni menggunakan pendekatan qalbi (hati) atau
rasa.
Tafsir al-Isyari jika bercampur
dengan hal-hal yang samar-samar (tasyabbuh) ia akan menjadi pemahaman yang
salah dan sesat. Tetapi selama merupakan kajian dan penelitian (istinbat) yang
benar dan sesuai dengan kaedah-kaedah kebahasaan atau yang ditunjuk oleh zahir
ayat serta didukung oleh bukti kesahihannya tanpa adanya pertentangan
(mukhalafah), maka ia dapat diterima.
Tafsir semacam ini tidak termasuk dalam kategori ilmu hasil usaha/ penemuan
(kasabi atau nazari) yang dapat dicapai dengan pemikiran dan penelitian yang
mendalam tetapi termasuk ilmu ladunni yaitu pemberian sebagai akibat dari
ketaqwaan, keistiqamahan dan kebaikan seseorang, sebagaimana firman Allah:
bÎ)ur…………….(#qè=yèøÿs?¼çm¯RÎ*sù8-qÝ¡èùöNà6Î/3(#qà)¨?$#ur©!$#(ãNà6ßJÏk=yèãurª!$#3ª!$#urÈe@à6Î/>äóÓx«ÒOÎ=tæÇËÑËÈ
…........... dan
bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu. .” [27]
Contoh-contoh
Tafsir Al-Isyari
Ada beberapa
contoh Tafsir Al-Isyari yang disebutkan para ahli tafsir, di antaranya :
Ø
Manna Khalil
Qattan mengemukakan contoh untuk ini adalah[28]
Riwayat Ibnu Abbas di mana ia berkata : “Umar RA mengajakku bergabung bersama
tokoh-tokoh pertempuran Badar. Di antara mereka ada yang keberatan dana
berkata, “mengapa engkau mengajak anak kecil ini bersama kami padahal kami
mempunyai beberapa anak yang seusia dengannya? “Umar menjawab, “Ia adalah orang
yang kau kenal kepandaiannya. Pada suatu ketika aku dipanggil untuk bergabung
dalam kelompok mereka. Ibnu `Abbas berkata, “Aku berkeyakinan bahwa Umar
memanggilku semata-semata untuk diperkenalkan kepada mereka. Umar berkata, “
Apakah pendapat kalian tentang firman Allah :
#sÎ)uä!$y_ãóÁtR«!$#ßx÷Gxÿø9$#urÇÊÈ
1.
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,[29]
Di antara mereka yang menjawab, “ Kami diperintahkan
untuk memuji dan meminta kepada Allah ketika mendapat pertolongan dan
kemenangan. “ Sahabat yang lain bungkam dan mengatakan apa-apa. Umar
melemparkan pertanyaan kepadaku, “Begitukah pendapatmu Ibnu `Abbas ? Aku
menjawab,
“ Ayat itu menunjukkan tentang ajal Rasulullah SAW yang diberitahukan Allah SWT kepadanya”.
“ Ayat itu menunjukkan tentang ajal Rasulullah SAW yang diberitahukan Allah SWT kepadanya”.
ôxÎm7|¡sùÏôJpt¿2y7În/uçnöÏÿøótGó$#ur4¼çm¯RÎ)tb%2$R/#§qs?ÇÌÈ
Maka
bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya
Dia adalah Maha Penerima taubat.[30]
Umar
menjawab, “ Aku tidak tahu pengertian ayat tersebut, kecuali yang engkau
jelaskan “ (Hadist Riwayat Bukhari).
Berdasarkan riwayat di atas jelas menunjukkan bahwa
pemahaman Ibnu `Abbas ini tidak bisa dikuasai oleh sahabat-sahabat yang lain.
Yang memahaminya hanyalah Umar RA dan Ibnu `Abbas sendiri. Inilah bentuk Tafsir
Al-Isyari yang diilhamkan Allah kepada makhlukNya yang dikehendaki untuk
diperlihatkan kepada hamba-hamba lainnya, yakni surat Al-Nashr tersebut
menyatakan berita wafat Nabi SAW dan menunjukkan dekatnya ajal beliau.[31]
Ø
Misalnya
sebuah Hadist yang menyebutkan bahwa[32]
pada ketika Nabi SAW berkhutbah di hadapan orang ramai. Di antara khutbahnya
tersebut beliau
mengemukakan : “Bahwasannya Allah menyuruh seorang hamban-Nya untuk memilih seluruh isi dunia ini atau apa yang ada disisi-Nya. Kemudian Ia memilihnya memilihnya yang ada dekat-Nya. Abu Bakar menangis (dalam satu riwayat ia mengatakan, “Kami menebusmu ya Rasulullah dengan nenek moyang kami). Kami merasa heran terhadap Abu Bakar yang menangis. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kami mengetahui bahwa Abu Bakar adalah orang yang terpilih dan kenyataan memang Abu Bakar yang terpandai di antara kami.”
mengemukakan : “Bahwasannya Allah menyuruh seorang hamban-Nya untuk memilih seluruh isi dunia ini atau apa yang ada disisi-Nya. Kemudian Ia memilihnya memilihnya yang ada dekat-Nya. Abu Bakar menangis (dalam satu riwayat ia mengatakan, “Kami menebusmu ya Rasulullah dengan nenek moyang kami). Kami merasa heran terhadap Abu Bakar yang menangis. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kami mengetahui bahwa Abu Bakar adalah orang yang terpilih dan kenyataan memang Abu Bakar yang terpandai di antara kami.”
Dalam kasus
diatas sangat jelas terlihat bahwa sahabat Abu Bakar RA telah dapat memahami
arti sabda Nabi SAW secara tersirat atau isyarat yang tidak bisa dijangkau
pemahaman tersebut oleh para sahabat lainnya.
Beberapa
Persyaratan Tentang Tafsir Al-Isyari
Penafsiran terhadap Al-Qur`an tentang dilakukan oleh para penafsir berkisar
pada tiga hal pokok, yakni : Tafsirmengenai lafaz (Uraian Lafaz), yaitu
sebagaimana yang dilakukan oleh Ulama-ulama muta`akhkhirin (Ulama modern),
tafsir tentang makna, yaitu yang ditempuh oleh kaum salaf dan tafsir mengenai
isyarat (Tafsir Al-Isyari) yaitu yang ditempuh oleh mayoritas ahli sufi dan
lain-lain.
Tafsir yang terakhir ini dapat diterima bila memenuhi persyaratan-persyaratan
sebagai berikut :[33]
Ø
Tidak
bertentangan (ta`arudh atau mukhalafah) dengan makna lahir (pengetahuan
tekstual) Al-Qur`an.
Ø
Penafsirannya
diperkuat oleh dalil syara` yang lain.
Ø
Penafsirannya
tidak bertentangan dengan dalil syara` atau rasio.
Ø
Penafsirannya
tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang dikehendaki Allah,
bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.
Ø
Penafsiran
tersebut tidak terlalu jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan lafal,
sebagaimana panafsiran tasawuf
praktis mengenai firman Allah:
y^Íururß`»yJøn=ßy¼ãr#y……………………ÇÊÏÈ
Dan Sulaiman telah
mewarisi Daud AS……[34]
Menurut
mereka bahwa Ali Bin Abi Thalib adalah pewaris Ilmu Nabi SAW.Apabila
syarat-syarat ini terpenuhi maka penafsiran secara Isyari dapat diterima dan
merupakan istinbath yang baik.Tanpa syarat-syarat tersebut di atas, tafsir
Isyari tidaklah dapat diterima yang berarti termasuk tafsir berdasarkan hawa
nafsu dan ra`yu semata, yang dilarang. Allahlah yang memberikan taufik dan
hidayah menurut jalan yang benar.
Corak-corak Tafsir Al-Isyari
Corak (laun)
penafsiran ini bukanlah merupakan sesuatu yang baru karena telah dikenal sejak
turunnya Al-Qur`an kepada Rasulullah SAW. Hal ini diisyaratkan oleh Al-Qur`an.
Firman Allah SWT:
…………….4ö@è%@@ä.ô`ÏiBÏZÏã«!$#(ÉA$yJsùÏäIwàs¯»ydÏQöqs)ø9$#wtbrß%s3ttbqßgs)øÿt$ZVÏtnÇÐÑÈ
…………Katakanlah:
"Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu
(orang munafik) Hampir-hampir tidak memahami pembicaraansedikitpun?[35]
Dari sini dapat diketahui bahwa tafsir corak Tasauf Praktis ini,
sebagaimana halnya dengan tafsir bi al-Ma`tsur sudah ada sejak dulu, di Zaman
Rasulullah. Penafsiran semacam ini dapat diterima selama memenuhi kriteria atau
syarat-syarat sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Diantara
kitab-kitab tafsir al-Isyari atau Tasawuf Praktis ini adalah:[36]
Ø
Tafsir
al-Tastury atau tafsir Al-Qur`an al-`Azim karya Abu Muhammad Sahal ibnu
Abdullah al-Tastury (W.283 H)
Tafsir ini
tidak lengkap mengupas seluruh ayat-ayat Al-Qur`an meskipun lengkap menyebutkan
surat-surat Al-Qur`an, tafsir ini telah menempuh jalan sufi dan disesuaikan
dengan ahli zahir.
Ø
Ghara`ib
Al-Qu`an wa Ragha`ib al-Furqan atau tafsir al-Naisaburi.
Karya
Nizhamuddin al-Hasan Muhammad al-Naisaburi (W.728 H). Tafsir ini memperoleh
keistimewaan dengan mudah ungkapan (Bahasa)nya dan mentahkikkan sesuatu yang
perlu ditahkik. Tafsir ini mashyur dan tercetak ditepian tafsir ibnu Jarir.
Ø
Tafsir
al-Alusi (Tafsir Ruhul Ma`ani)
Karya
Syihabuddin al-Sayid Muhammad al-Alusi al-Baghdadi (w.1270 H). Tafsir ini
termasuk tafsir yang besar, luas dan lengkap, disitu disebutkan riwayat-riwayat
salaf disamping pendapat-pendapat ulama khalaf yang diterima.
Ø
Tafsir Ibnu
`Arabi karya Abdullah Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Abdullah Muhyiddin Ibnu `Arabi.
(w.238 H / 1240 M). Dijuluki dengan Syeikh Akbar.
Ø
Haqaiqut
Tafsir karya Abu Abdir Rahman Muhammad bin Husain bin Musa, al-Azdi al-Silmi
(w.412 H).
Tafsir ini
tertulis dalam satu jilid besar. Dan mengupas seluruh surat dalam al-Qur`an,
tetapi tidak mengupas seluruh ayat-ayatnya. Tafsir ini mendasarkan pasa
isyarah, meskipun ia sendiri tidak menentang dhahir al-Qur`an. Hanya saja ia
membatasi tafsirnya pada isyarah sehingga mengandung celaan dari para ulama
tafsir.
Ø
Tafsir
al-Raisul Bayan fi Haqaiqul Qur`an, karya Abu Muhammad Ruzbihan bin Abi al-Nash
al-Syairazi.(w.606 H).
Tafsir ini
seluruhnya dengan isyarah dan tidak ditampilkan tafsir menurut dhahir ayat,
meskipun penafsir ini berkeyakinan bahwa dhamir ayat itu wajib dipergunakan
terlebih dahulu. Kitab ini terdiri dari dua juz yang dihimpun menjadi satu
jilid besar.
Ø
Al-Ta`wilatun
Najimiah, karya Najmuddin Dayah dan Ahmad Daulah al-Samnawi. Tafsir ini disusun
oleh Najmuddin Dayah dan ia meninggal sebelum tafsir itu selesai. Kemudian
diteruskan oleh Alau al-Daulah al-Samnawi. Tafsir ini tertulis dalam lima julid
besar. Jilid keempat berakhir pada ayat 17 dan 18 surat al-Zariyat dan itulah
akhir penafsiran Najmuddin. Sedangkan Jilid kelimanya merupakan penyempurnaan
tafsir ini.
Antara
penafsir I dan penerusnya terdapat perbedaan dimana penafsir I kadang-kadang
mengemukakan tafsir berdasar zahir ayat, baru setelah itu diteruskan dengan
isyarat. Sedangkan penerusnya tidak mengungkap zahir ayat.
Perdebatan Ulama Mengenai Tafsir Al-Isyari
Para Ulama berbeda pendapat mengenai Tafsir al-Isyari, di antaranya ada
yang membenarkan dan menganggap sebagai tafsir maqbul, dan ada yang tidak
membenarkankannya dan menganggap sebagai tafsir mardud. Ada yang beranggapan
sebagai kesempurnaan iman dan kebersihan kema`rifatan, ada pula yang berasumsi
sebagai suatu penyelenwengan dan penyesatan dari ajaran Allah SWT.
Pembahasan ini sangat rumit dan memerlukan penelitian dan penyelidikan yang
sungguh-sungguh, teratur dan memerlukan penyelaman yang sangat mendalam.
Seandainya tujuan dari tafsir ini adalah mengikuti hawa nafsu dan hanya
mempermaikan ayat-ayat Allah sebagaimana yang dilakukan oleh aliran kebatinan
maka tafsir semacam ini termasuk zindik dan anti Tuhan (atheis). Sebaliknya,
apabila tujuan tafsir untuk menunjukkan bahwa kalam Allah tidak dapat dikuasai
oleh manusia karena merupakan ucapan dari Sang pencipta segala kekuatan dan
kemampuan, serta mengandung beberapa pengertian dan rahasia, hal itu termasuk
pemurnian ma`rifat dan kesempurnaan iman, sebagaimana dikatakan oleh ibnu
`Abbas,”Al-Qur`an mengandung berbagai budaya dan ilmu yang lahir maupun batin,
keajaiban tidak akan habis dan puncak tujuannya tidak akan terjangkau.”Barang
siapa yang menyelaminya dengan penuh kelembutan niscaya akan selamat dan barang
siapa yang menyelaminya dengan cara radikal niscaya akan terjerumus. Al-Qu`an
mengandung berita dan perumpamaan, halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkam
dan mutasyabbih yang lahir dan batin. Secara lahir berupa bacaan dan secara
batin berupa takwil. Belajarlah dari ulama dan jauhilah orang-orang bodoh.”[37]
Analisis
Mengenai Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Isyari
Kelebihan
atau Keunggulan Tafsir Al-Isyari
Mempelajari
beberapa pokok bahasan di atas terutama terhadap ulama yang mendukung dan
memperbolehkan penafsiran secara Isyari terlihat beberapa kelebihan yang
dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu :[38]
Ø
Tafsir
Isyari mempunyai kekuatan hukum dari Syara` sebagaimana telah dijelaskan
mengenai beberapa contoh penafsiran secara Isyari, seperti penafsiran Ibnu
`Abbas terhadap firman Allah Q.S. Al-`Nashr :1. Sehingga hampir semua sahabat
dalam kasus tersebut tidak ada yang memahami maknanya melainkan makna secara
zahir atau tekstual.
Ø
Apabila
Tafsir Isyari ini memenuhi syarat-syarat tafsir sebagaimana yang telah
disepakati para ulama tafsir, maka akan bertambah wawasan dan pengetahuan
terhadap isi kandungan Al-Qur`an dan Hadith.
Ø
Penafsiran
secara Isyari tidaklah menjadi aneh kalau Allah melimpahkan ilmu pengetahuan
kepada orang yang ia kehendaki serta memberikan pemahaman kepada orang-orang
pilihan, seperti Abu Bakar, Umar, Ibnu `Abbas dan Nabi Khidhir AS.
Ø
Penafsiran
Isyari mempunyai pengertian-pengertian yang tidak mudah dijangkau sembarangan
ahli tafsir kecuali bagi mereka yang memiliki sifat kesempurnaan Iman dan
kemurnian ma`rifat.
Ø
Tafsir
Isyari atau tafsir golongan yang ma`rifat kepada Allah jelas telah memahami
makna tekstual atau makna lahir dari al-Qur`an, sebelum menuju kepada makna
secara isyarat. Hal ini mereka memiliki dua kelebihan. Pertama, menguasai makna
lahir ayat atau hadith. Kedua, memahami makna isyaratnya.
Kelemahan-kelemahan Tafsir
Al-Isyari.
Menelaah kembali perbedaan pandangan ulama tafsir terhadap tafsir al-Isyari
terutama pendapat yang menganggap tafsir al-Isyari tergolong ke dalam tafsir
mardud atau tertolak penuh dengan rekayasa dan khayalan para penafsir. Disini
terlihat beberapa kelemahan yang dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu sebagai
berikut :[39]
Ø
Apabila
Tafsir Isyari ini tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah di sebutkan
diatas, maka tafsir ini dapat dikatakan tafsir dengan hawa nafsu atau rasio
bertentangan dengan lahir ayat yang dilarang oleh Allah.
Ø
Tafsir
Isyari yang telah kemasukan pena`wilan yang rusak sebagaimana dipergunakan oleh
aliran kebatinan. Tidak memperhatikan beberapa persyaratan yang telah
ditetapkan Ulama sehingga berjalan bagaikan unta yang buta, yang akhirnya orang
yang awam berani mencecerkan kitab Allah, menakwilkan menurut bisikan hawa
nafsunya atau menurut bisikan setan. Orang-orang tersebut menduga bahwa hal itu
termasuk tafsir Isyari akibat kebodohan dan kesesatan mereka karena telah
menyelewengkan kitab Allah dan berjalan di atas pengaruh aliran kebatinan dan
ateis. Hal semacam itu kalaupun bukan merupakan penyelewengan terhadap arti.
Ø
Penafsiran
secara Isyari kadang-kadang maknanya sangat jauh dari ketentuan-ketentuan agama
yang sudah qath`i atau pasti keharamannya. Seperti anggapan Ibnu `Arabi
terhadap orang-orang musyrik yang menyembah patung. Menurutnya mereka pada
hakikatnya menyembah Allah bukan menyembah patung dan patung adalah sebagai
pengganti Allah.
Ø
Penafsiran
secara Isyari tidak dapat dijangkau atau sulit dipahami oleh kaum awam yang
berakibat pada rusaknya agama orang-orang awam. Sebagaimana ungkapan Ibnu
Mas`ud ra, “Seseorang yang mengatakan kata-kata dihadapan orang lain tidak
dimengerti hal itu akan menjadi fitnah buat mereka.”
PENUTUP
Salah satu metode yang digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
diantaranya adalah metode tafsir Al-Aqli Al-Ijtihadi atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Tafsir bil al-ra’yi (tafsir berdasarkan pikiran. Tafsir
ini juga disebut tafsir bi al-dirayah (tafsir berdasarkan pengetahuan)
atau tafsir bi al-ma’qul. Tafsir bi Ar-Ra’yi adalah Ijtihad yang
didasarkan kepada dasar-dasar yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, biasa
diikuti dan sewajarnya diambil oleh orang yang hendak mendalami tafsir
al-Qur’an atau mendalami pengertiannya, dan bukan berarti menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an berdasarkan kata hati atau kehendak sendiri
Metode tafsir yang lain yaitu tafsir
Al-Isyari atau tafsir berdasarkan
indikasi. Tafsir Isyari adalah tafsir yang menta`wilkan ayat
tidak menurut zahirnya namun disertai usaha menggabungkan antara yang zahir dan
yang tersembunyi. Para Ulama berbeda pendapat mengenai Tafsir al-Isyari, di
antaranya ada yang membenarkan dan menganggap sebagai tafsir maqbul, dan ada
yang tidak membenarkankannya dan menganggap sebagai tafsir mardud. Ada yang
beranggapan sebagai kesempurnaan iman dan kebersihan kema`rifatan, ada pula
yang berasumsi sebagai suatu penyelenwengan dan penyesatan dari ajaran Allah
SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Rifai
, Mohammad. Mengapa Tafsir Al-Qur’an Dibutuhkan. (Semarang, CV. Wicaksana, tth)
Ushama,
Thameem. Metodologi Tafsir Al-Quran, terj.Hasan Basri, Amroeni.
(Jakarta: Riora Cipta, 2000)
M. Aly Ash-Shabuny. At-Tibyan fi ‘Ulum
al-Qur’an, Terj. M. Chudlori Umar, dkk, (Bandung:
Pengantar Studi Al-Qur’an
Al-Ma’arif, 1987)
Manna Khalil Al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran. (Bogor:
Litera Antar Nusa, 1996)
Ali Hasan al-‘Aridl. Tarikh al-‘Ilm
al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin. Terj. Ahmad Akrom. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994)
Yunus
Hasan. Tafsir Al-Quran(Sejarah Tafsirdan Metode Para Mufasir), terj.
Qodirun Nur, Ahmad Musyafiq,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)
Muhammad
Hasbi Ash Shiddieqy. Sejarah &Pengantar Ilmu Al-Quran dan Tafsi.,(Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 1997)
Basri, Talhas Hasan. Spektrum Sainfikasi al-Qur’an.
(jakarta: Bale Kajian Tafsir al-Quran Pase,2001)
Rosihan Anwar. Ilmu Tafsir. (Bandung : Pustaka Setia, 2000)
Muhammad
Husein al-Zahabi. Penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran al-Qur`an. Terj. Hamim Ilyas , Machnun Husein. (Jakarta : Rajawali, 1991)
[17]QS. Al-Isra’:71
[18]QS. An-Nisa’:
23
[23]AL-shabuny, Studi
ilmu al-Qur’an, hal. 279
[24]Talhas Hasan Basri, Spektrum Sainfikasi al-Qur’an,
(jakarta: Bale Kajian Tafsir al-Quran Pase,2001), hal 15.
[25]Rosihan Anwar, Ilmu
Tafsir,(Bandung : Pustaka Setia, 2000), hal. 166
[31]Al-Qattan, Studi
Ilmu-ilmu al-Qur`an, hal. 496
[32]Al-Shabuni, Pengantar
study Al-Qur’an,hal.237.
[33]Anwar, Ilmu Tafsir,
hal.167.
[37]Al-Shabuni, Studi Ilmu Al-ur’an,
hal. 286
thank's informasinya gan,,
BalasHapusmakalah-artikel-tugas
BalasHapusterlengkap dan gratissssss..........
camon guys...
http://seramoe-printstation.blogspot.com/