METODE PENELITIAN HADITS

Muqaddimah



Para pemerhati dan pemikir keislaman yang kritis, sudah cukup lama
peduli pada sumber ajaran Islam, terutama al-hadits an-nabi saw.[1]
Begitu pula dengan penelitian terhadapnya, telah banyak juga dilakukan
mereka,[2] termasuk di dalamnya adalah para orientalis (baca:
Islamolog Barat). Mengingat, Hadits Nabi SAW. adalah juga petunjuk
bagi umat Islam setelah al-Qur'an, yang sekaligus merupakan penjelas
utama al-Qur'an.[3]

Alasan lainnya adalah bahwa tidak seluruh Hadits ditulis pada zaman
Nabi SAW. [4]; sebagian Hadits Nabi SAW. didapati telah dipalsukan;
proses penghimpunan Hadits Nabi SAW. memakan waktu cukup lama; jumlah
kitab Hadits Nabi SAW. cukup banyak dengan metode penyusunan yang
berbeda-beda, dan; telah terjadinya periwayatan Hadits secara
Maknawi.[5]

Analisis Fazlur Rahman menyebutkan, bahwa secara historis Hadits Nabi
SAW. dalam rangka formalisasinya untuk dijadikan sebagai otoritas
pasca al-Qur'an itu telah mengalami evolusi. Katanya, ada tiga tahapan
dalam perkembangan evolutifnya; informal, semi formal, dan formal.[6]
Jadi, penelitian (baca: kritik) terhadap Hadits Nabi SAW. sangat perlu
sekali dilakukan, demi menjaga autentisitasnya.

Hemat penulis, berbagai kajian yang dimaksud tersebut, masih cukup
sedikit yang membahas secara langsung tentang "Ilmu Kritik Hadits
('ilm naqd al-hadits)", atau lebih tepatnya yang menggunakan term
kritik. Baru sekitar abad XIV Hijriyah pengkajian itu dilakukan secara
serius[7].

Jika dikatakan, bahwa kritik terhadap Hadits telah dimulai sejak zaman
Nabi Muhammad SAW. atau pada masa kegemilangan sejarah Islam, penulis
berasumsi, itu masih berupa "cikal bakal" atau proses dari suatu
kajian yg mengarah ke kritik dimaksud, yakni sistematisasi,
metodologisasi atau kajian yg komprehensif dalam ulum al-hadits.[8]

Tulisan pendek ini, tentu saja terlalu berlebihan, jika dikatakan
untuk menyelesaikan problem di atas. Karena itu, maksud penulis hanya
sekedar (cukup) untuk memperkenalkan saja tentang "Studi Kritik
Hadits", yaitu kajian model mutakhir dari metodologi penelitian Hadits
Nabi SAW. Ini juga, lebih banyak mengambil referensi dari berbagai
kitab dan buku yang telah ada, khususnya sejak abad tersebut.

Beberapa pemerhati dan literatur yang telah membahas dan langsung
menyebutkan dengan istilah "kritik (naqd)" hadits, antara lain; Nur
ad-Din 'Itr dengan karyanya, Manhaj an-Naqd fi 'Ulum al-Hadits,
Muhammad Mustafa A'zami dalam Studies In Hadith Methodology and
Literature dan Manhaj an-Naqd 'ind al-Muhadditsin: Nasy'atuh wa
Tarikhuh, Muhammad Syuhudi Isma'il dalam Hadits Nabi Menurut Pembela,
Pengingkar dan Pemalsunya, dan Ali Mustafa Ya'qub dalam Imam Bukhari &
Metodologi Kritik dalam Hadits dan Kritik Hadits. Berawal dari
merekalah pengkajian atas studi kritik ini dilakukan. Sekalipun,
kajian itu belum memberikan pemahaman yang utuh sekali.

Kita akan mendapatkan sesuatu yang agak utuh, baru dari para pengkaji
dan beberapa literatur mengenai kritik (baca: penelitian) Hadits Nabi
SAW. yang lebih spesifik (yakni, secara terpisah), baik untuk sanad
ataupun matan hadits. Lebih-lebih, mereka telah mencoba
mengaktualisasikannya dalam pergulatan intelektual kontemporer dan
menerapkannya secara kontekstual. Antara lain; Shalahuddin ibn Ahmad
al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn 'inda 'Ulama al-Hadits an-Nabawi;
Muhammad Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin fi Naqd Matn al-Hadits
an-Nabawi asy-Syarif; Afif Muhammad, "Kritik Matan: Menuju Pendekatan
Kontekstual atas Hadis Nabi SAW."; dan Said Agil Husein al-Munawwar,
"Urgensi Kritik Matan dalam Studi Hadits Kontemporer: Rekonstruksi
Metodologi atas Kriteria Kesahihan Hadits".

Secara berurutan (sistematis), bahasan dimulai dari paparan tentang
pengertian kritik hadits, sejarah dan perkembangannya, lalu pembagian
dan metodologi kritik hadits, dan standarisasi. Sebelum penutup atau
kesimpulan, akan dikemukakan urgensi studi kritik hadits dalam
penelitian hadits Nabi SAW. saat ini (kontemporer).

Pengertian

Secara leksikal, istilah "kritik" dalam bahasa Indonesia adalah
celaan, kecaman, dan sanggahan. Pengertiannya yang agak luas adalah
memberi pertimbangan dan menunjukkan mana yang salah dan yang benar.
Orang yang ahli mempertimbangkan baik dan buruk disebut kritikus. [9]

Dalam berbagai literatur Arab modern, kata naqd adalah mashdar dari
kata naqada digunakan dengan arti "kritik" (criticism).[10] Adapun
dari segi bahasa, bisa diartikan dengan "membedakan; memisahkan" dan
"memilih". Seperti dalam contoh; naqd ad-darahim wa intaqadaha; tamyiz
ad-darahim wa ikhraj az-zaif minha[11] (Dia membedakan uang dan memi-
sahkannya dari yang palsu); atau naqd al-kalam wa naqd asy-syi'r
--diartikan dengan--, He pick out the faults of the language and of
the poetry, [12] (Dia telah memilih yang salah dari bahasa dan
sastra).

Jadi dalam arti bahasa (lugawi), naqd itu dapat menjelaskan pada
setiap sesuatu untuk menyingkapkan dan mengujikannya. Seperti itu pula
makna lugawi dari naqd menurut ahli Hadits.[13]

Dengan arti di atas, tidak mengherankan jika Imam Muslim (w. 261),
seorang ahli Hadits ternama, ketika menulis sekitar metodologi kritik
Hadits memberi nama kitabnya dengan At-Tamyiz. Hal ini barangkali
juga, karena dalam al-Qur'an dan Hadits Nabi SAW. tidak dijumpai dan
digunakan kata naqd dengan maksud "kritik", tapi dengan maksud lain
dan dengan menggunakan kata yamiz (asal katanya, maza).[14]

Sebenarnya, menurut Muhammad Mustafa A'zami -lalu, disebut A'zami--,
kata naqd sudah dipergunakan oleh ahli Hadits masa awal, hanya saja
kurang populer. Mereka ketika mengkritik Hadits menamakannya dengan
al-jarh wa at-ta'dil (tentang invaliditas dan kredibelitas dalam
Hadits). Karenanya, kata tersebut (naqd) sangat mungkin telah
digunakan pada abad kedua Hijriyah.[15] Seperti, dalam karya Ibn Hatim
ar-Razi (w. 327) al-Jarh wa at-Ta'dil, beliau menyebutkan istilah
kritik dan kritikus Hadits dengan an-Naqd wa an-Nuqqad.[16]

Kritik hadits, secara terminologis, menurut A'zami dalam "Manhaj
an-Naqd 'inda al-Muhadditsin" adalah menyeleksi hadits-hadits antara
yang shahih dengan yang dla'if dan meneliti para perawinya apakah
dapat dipercaya dan kuat ingatannya (tsiqah) atau tidak. [17]

Adapun ilmu kritik hadits ('ilm naqd al-hadits), menurut Muhammad
Thahir al-Jawabi adalah menetapkan status para perawi hadits, baik
tajrih (kecacatan), maupun ta'dil (keadilan) dengan menggunakan
kata-kata tertentu yang ditentukan oleh para ahli Hadits; dan meneliti
matan-matan hadits yang sanadnya shahih untuk di-tashih atau
sebaliknya (di-tadla'if ), dan untuk menghilangkan (kesahihan matan)
dari yang musykil, lalu menolak atau menghindarkan dari matan yang
bertentangan dengan cara menerapkan aturan-standar yang tepat.[18]

Dari pengertian di atas, berarti menepis pendapat yang beredar
dikalangan umat Islam, bahwa kritik Hadits sebagai sebuah upaya untuk
melecehkan kedudukan dan fungsi Hadits. Juga, tentang bahwa istilah
tersebut datang dari islamolog Barat, berarti tidak 100 % benar.[19]

Dalam Ilmu Hadis, kritik ditujukan pada dua aspek; aspek sanad dan
matan hadis.[20] Pada kritik dua aspek ini, yakni kritik sanad/kritik
ekstern, naqd as-sanad/naqd ar-rijal/naqd al-khariji dan kritik
matan/kritik intern, naqd al-matn/naqd al-bathini diperlukan
syarat-syarat, kaedah-kaedah, atau standarisasi tertentu.

Bila demikian, kritik dalam arti semacam itu, sama halnya dengan
istilah "penelitian" menurut M. Syuhudi Isma'il.[21] Lalu, dari
penelitian tersebut akan muncul istilah ahli hadis, "hadza al-hadits
shahih al-isnad" dan "hadza al-hadits shahih al-matn".[22] Paparan
lebih lanjut, akan dibahas dalam sub "Pembagian dan Metodologi",
setelah sub "Sejarah dan Perkembangan".

Sejarah dan Perkembangan

Dari beberapa batasan "kritik" di atas, dapat dikatakan bahwa kritik
terhadap Hadits Nabi SAW. telah dimulai sejak zaman Nabi SAW [23] Jika
demikian, "ilmu" ini mengalami proses yang panjang, sesuai dengan
perkembangan intelektual.

Hal ini, sama sebagaimana dalam analisis al-Jawabi, bahwa kritik
Hadits Nabawi -seperti juga ilmu-ilmu keislaman lain- dimulai dengan
pertumbuhan, kemudian mengalami fase-fase (tahapan) tertentu dalam
perkembangan menuju kesempurnaannya, sehingga mempunyai kaedah dan
metodologinya.[24]

Tahapan-tahapan yang dimaksud adalah al-istitsaq min al-khabar
(eksplorasi Hadits), al-ihtiyath fi ar-riwayah tahammulan wa ada'an
(selektif dalam periwayatan, baik penyampaian ataupun penerimaannya),
naqd ma'na al-hadits (kritik makna Hadits), naqd ar-ruwah min janib
dabthihim wa shiyanah mabna al-matn (kritik para perawi, dari segi
keadilan dan kecacatan untuk mengetahui kredibelitasnya dan akurasi
materi Hadits), at-taftisy 'an ar-ruwah wa al-bahts 'an 'adalatihim
(penyidikan tentang para perawi dan evaluasi tentang keadilannya),
al-muthalabah bi al-isnad (penyelidikan dengan susunan/urutan perawi),
ta'sis 'ilm al-jarh wa at-ta'dil (pemberian landasan pada jarh wa
at-ta'dil), al-bahts 'an 'ilal al-hadits (koreksi atas cacat Hadits).

Setelah itu, metode baru dari kritik makna (naqd ma'na) untuk
menghindarkan matan-matan yang bertentangan dan menghilangkannya dari
kemusykilan. Tahapan berikutnya, kritik bahasa Hadits (naqd lugah
al-hadits) meliputi; penjelasan yang ganjil dan justifikasi kesalahan
mengeja, dan; tahapan terakhir, pemahaman Hadits (bayan fiqh
al-hadits). Semuanya itu, kata al-Jawabi, ditujukan untuk dapat
membedakan antara Hadits yang Shahih dan yang dla'if.[25] Dari proses
tersebut itulah, sehingga muncul dan menghasilkan beberapa ilmu yang
dapat membedakan dari suatu Hadits Nabi SAW. yang diterima (al-maqbul)
dan ditolak (al-mardud) dari segi matan dan sanadnya, juga pemahaman
terhadap makna dan lafadhnya.[26]

Dalam analisisnya, A'zami mengungkapkan bahwa pada zaman Nabi SAW.
penelitian Hadits masih bersifat verifikatif dan konfirmatif. Seperti,
"seseorang pergi menemui Nabi SAW. untuk membuktikan sesuatu yang
telah disabdakan beliau". Jadi, pada tahap ini masih sangat sederhana,
dapat pula dikatakan sebagai konsolidasi dan demi ketenangan hati
orang-orang muslim; bahwa memang Nabi SAW. benar-benar menyampaikan
hal itu. Sebagai contohnya, adalah kasus ahl al-badiyah, seperti
berikut ini.

"Anas ibn Malik berkata:.telah datang seseorang dari ahl al-badiyyah
kemudian bertanya," Wahai Muhammad kami telah didatangi utusanmu, ia
mengatakan bahwa Allah SWT. telah mengangkat engkau sebagai Rasul,
benarkah? Nabi SAW. menjawab: benar.. Lalu bertanya lagi; "Utusanmu
juga menyampaikan tentang kewajiban untuk mengeluarkan zakat dari
harta kami, benarkah?" Jawab Nabi SAW., benar.. Selanjutnya, "Utusanmu
juga mengajarkan kepada kami tentang kewajiban untuk berpuasa Ramadlan
setiap tahunnya, benarkah?"

Jawab Nabi SAW, benar.dst. (HR. Muslim).[27]

Beberapa Sahabat Nabi SAW. lain juga melakukan hal demikian. Di antara
mereka itu; Abu Bakar ash-Shiddiq, 'Ali ibn Abi Thalib, Ubay ibn Ka'b,
Abdullah ibn Amr, umar ibn Khattab, 'Aisyah bint Abu Bakar, Ibn 'Umar
dan Zainab isteri ibn Mas'ud.[28]

Menurut Ibn Hibban, setelah generasi 'Umar ibn Khattab dan 'Ali ibn
Abi Thalib, para penerusnya adalah para Tabi'in. Pada masa kedua ini,
sudah lebih berkembang lagi, setidaknya terdapat dua aliran; aliran
Madinah dan Irak. Beberapa dari Madinah antara lain Ibn al-Musayyib
(w. 93), al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakr (w. 106), Salim ibn
'Abdullah ibn 'Umar (w.106), 'Ali ibn Husain ibn 'Ali (w.93), Abu
Salamah ibn 'Abd ar-Rahman (w. 94), Kharijah ibn Zaid ibn Tsabit
(w.100), 'Urwah ibn az-Zubair (w. 91), Abu Bakr ibn 'Abd ar-Rahman,
ibn al-Harits (w. 94), dan Sulaiman ibn Yasir (kira-kira w. 100).
Selain mereka itu antara lain, az-Zuhri (w. 124). Sedangkan yang
mewakili dari Irak, diantaranya Sa'id ibn Zubair (w. 95), asy-Sya'bi
(w. 104), Thawus (w. 106), al-Hasan al-Bashri (w. 110), dan Ibn Sirin
(w. 110). Juga termasuk, as-Sakhtiyani (w. 131), dan Ibn 'Awn (w.
151).

Selanjutnya, kritik Hadits Nabi SAW. memasuki tahapan baru, setelah
periode di atas. Tahap baru tersebut adalah dengan melakukan
perjalanan (journay) untuk memperoleh Hadits, meskipun sebenarnya
metode ini telah dilakukan pada zaman Nabi SAW. namun, tidak bisa
disamakan dengan perjalanan oleh para ulama abad ke-2 dan ke-3
Hijriyah. Perbedaan rihlah ilmiyah tersebut, semangatnya itu
sebagaimana dipaparkan oleh Yahya ibn Ma'in (w. 233);

"There are four kinds of people who never became mature in their life;
among them is he who writes down hadith in his own and never makes a
jouney for this purpose"[29] (Ada empat jenis manusia yang tidak
pernah menjadi puas dalam hidup mereka; salah satunya adalah sesorang
yang mencatat hadits miliknya sendiri dan tidak peduli melakukan
perjalanan demi tujuan penulisannya).

Sejak abad itulah, secara umum persyaratan peneliti Hadits adalah
melakukan perjalanan dimanapun (extensive). Sehingga, kritiknyapun
tidak terbatas hanya pada guru-guru (syaikh) dimana peneliti hidup,
tapi sudah mendunia (Islamic world).

Beberapa diantara mereka adalah Sufyan ats-Tsauri dari Kufah (97-161),
Malik ibn Anas dari Madinah (93-179), Syu'bah dari Wasith (83-100),
al-Awza'I dari Beirut (88-158), Hammad ibn Salamah dari Bashrah (w.
167), al-Laitsibn Sa'd dari Mesir (w. 175), Hammad ibn Zaid dari
Bashrah (w. 179), Ibn 'Uyainah dari Mekkah (107-198), 'Abdullah ibn
al-Mubarak dari Merv (118-181), Yahya ibn Sa'id al-Qattan dari Bashrah
(w. 198), Waki' ibn Jarrah dari Kufah (w. 196), 'Abd ar-Rahman ibn
Mahdi dari Basrah (w. 198), dan asy-Syafi'I dari Mesir (w. 204).
Namun, menurut Ibn Hibban, yang termasyhur dari mereka adalah Syu'bah,
Yahya ibn Sa'id dan Ibn Mahdi. Syu'bah dalam bidang ini adalah gurunya
Yahya ibn Sa'id.[30]

Dari para kritikus tersebut, kemudian mempunyai generasi penerusnya.
Beberapa yang terkenal adalah Yahya ibn Ma'in dari Bagdad (w. 233),
'Ali ibn Al-Madini dari Bashra (w. 234), Ibn Hanbal dari Bagdad (w.
241), Abu Bakr ibn Abu Syaibah dari Wasith (w. 235), Ishaq ibn Rawaih
dari Merv (w. 238), 'Ubaidillah ibn 'Umar al-Qawariri dari Bashrah (w.
235), dan Zuhair ibn Harb dari Bagdad (w. 234). Sedangkan yang lebih
masyhur lagi dari mereka adalah Yahya ibn Ma'in, 'Ali ibn al-Madani,
dan Ibn Hanbal.

Sebagaimana biasanya, diantara murid mereka ada juga yang terkenal,
seperti halnya; ad-Darimi (w. 255), al-Bukhari (w. 256), Muslim
an-Naisaburi (w. 261), dan Abu Zur'ah ar-Razi (w. 264).

Pada periode abad-abad itulah kritik Hadits Nabi SAW. tumbuh dan
berkembang sangat subur. Menurut al-Jawabi, periode tersebut termasuk
dalam kategori periode awal, dari tiga periode yang disebutnya sebagai
periodisasi dalam naqd al-hadits. Secara lengkap, sebagai berikut;
pertama, periode Shahabat dan Tabi'in (sampai paruh abad II Hijriyah);
kedua, periode tadwin al-hadits dan ta'sis funun an-naqdiyah (hingga
akhir abad IV Hijriyah)[31]; dan terakhir adalah periode penyempurnaan
dari periode sebelumnya, mulai abad IV-IX Hijriyyah.[32]

Setelah itu, perkembangan kritik Hadits terus berlanjut, baik melalui
metodologi ataupun segi sanad dan matannya, bahkan terkesan semakin
ketat dan kritis hingga dewasa ini. Beberapa literatur telah
disebutkan di muka.

Adapun literatur lainnya, antara lain; Studies In Early Hadith
Literature, " Hadis Nabawi damn Sejarah Kodifikasinya" , M.M. A'zami;
As-Sunnah an-Nabawiyyah: Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits, "Studi
Kritis Atas Hadits Nabi SAW. Antara Pemahaman Tekstual dan
Kontekstual" , Syaikh Muhammad Al-Ghazali; Kasyf Mauqif al-Ghazali Min
as-Sunnah wa Ahliha wa Naqd Ba'dl Ara'ih, "Membela Sunnah Nabawiy:
Jawaban Terhadap Buku Studi Kritis Atas Nabi (M.Al-Ghazali)", Rabi'
bin Hadi al-Madkhali; Kaifa Nata'ammal Ma'a as-Sunnat an-Nabawiyyah,"
Studi Kritis As-Sunnah, Yusuf Qardlawi; As-Sunnah wa Makanatuha fi
at-Tasyri' al-Islami, "Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum
Islam: Sebuah Pembelaan Kaum Sunni, Musthafa Al-Siba'I; dan Muhammad
Syuhudi Isma'il, Kaedah Kesahihan Hadits: Tela'ah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah.[33]

Dengan demikian, studi kritik Hadits Nabi SAW. itu hingga sekarang
masih tetap diminati oleh semua pemerhati keislaman kontemporer.
Perkembangan semacam ini, tentu saja akan memberikan nuansa pada
kerangka kritik Hadits selanjutnya.

Pembagian Kritik dan Metodologi

Sebagaimana dipaparkan sebelum ini, bahwa kritik Hadits itu usaha
untuk mengetahui shahih tidaknya suatu Hadits dan mempertanyakan
apakah Hadits tersebut benar-benar berasal dari Nabi SAW. atau bukan.
Berarti, sasarannya adalah dokumen dan teks sumber yang
menginformasikan tentang Nabi SAW. Jika demikian, mirip sekali -kalau
bukan, tidak ada bedanya-- dengan penelitian sejarah, yakni sama-sama
berupaya meneliti sumber dalam rangka memperoleh data yang autentik
dan dapat dipercaya.[34]

Dalam metode sejarah, terlebih dahulu sumbernya harus diteliti sebelum
data digunakan. Sumber data, dilihat dari sifatnya ada dua, yaitu
sumber primer dan sekunder[35]. Sementara, penelitian pada sumber
tersebut ada dua macam; kritik ekstern dan kritik intern.

Berkaitan dengan penelitian Hadits Nabi SAW., kritik yang ditujukan
pada sanad (perawi) atau naqd as-sanad adalah kritik ekstern dalam
ilmu sejarah atau naqd al-hadits al-khariji, an-naqd adh-dhahiri; dan
kritik pada matan (naqd al-matn), disebut juga kritik intern dalam
ilmu sejarah (an-naqd ad-dakhili, an-naqd al-bathini).[36] Jadi,
kritik Hadits Nabi SAW. itu terbagi menjadi dua aspek atau segi, yakni
segi sanad[37] dan segi matan.

Untuk menuju pada penelitian Hadits Nabi SAW. tersebut, terdapat
beberapa metode yang digunakan, baik pada zaman Nabi SAW. ataupun era
saat ini, kontemporer. Metode-metode yang dimaksud adalah metode
komparatif, metode rasionalisasi, dan kontekstual.


A. Metode Komparatif.

Dengan mengutip pendapat Ibn al-Mubarak (w. 181)," .untuk mencapai
pernyataan yang otentik, orang perlu membandingkan kata-kata ulama
satu dengan yang lainnya..", A'zami menyatakan bahwa "metode
perbandingan, the methode of comparasion " sangat penting dilakukan
berkaitan dengan kritik. Metode perbandingan tersebut, terdapat empat
macam;[38]

1. Perbandingan Hadits-hadits dari berbagai murid seorang ulama
(baca: Sahabat atau ahli Hadits). Caranya, dengan mengumpulkan
berbagai Hadits, kemudian dibandingkan dengan yang lainnya.
Contohnya, seperti dilakukan para Sahabat; Abu bakar ash-Shiddiq, Abu
Hurairah, dst. atau seperti dicontohkan suatu peristiwa yang
disebutkan sebelum ini (lihat hlm. 8)[39]

2. Perbandingan pernyataan seorang ulama setelah jarak waktu
tertentu. Hal ini seperti dilakukan oleh 'Aisyah bint Abu Bakar;

.Pada suatu ketika 'Aisyah menyuruh keponakannya 'Urwah, pergi
menemui 'Abd Allah ibn Amr dan menanyakan kepadanya tentang sebuah
hadits dari Nabi, karena 'Abd Allah mendengar banyak hadits dari Nabi.
'Urwah menemui 'Abd Allah dan menanyakan kepadanya tentang hadits dari
Nabi.

Salah satu hadis yang didengarnya adalah tentang bagaimana ilmu akad
diambil (dihilangkan) dari dunia. 'Urwah kembali pada 'A`isyah dan
meriwayatkan apa yang telah didengarnya dari 'Abd Allah.[40]

'A`isyah merasa tidak puas dengan Hadits satu ini. Setelah kira-kira
satu tahun, 'A`isyah menyuruh 'Urwah untuk bertanya kepada 'Abd Allah
ibn 'Umar tentang hadits tersebut, setelah 'Urwah kembali kepada
'A`isyah ia mengatakan bahwa Abdullah mengulangi Hadits tersebut.
Kemudian 'A`isyah berkata, "saya kira dia adalah benar, karena ia
tidak menambah dan mengurangi apapun dari Hadits itu"..[41]

3. Perbandingan dokumen yang tertulis dengan Hadits yang disampaikan
dari ingatan. Metode ini seperti digunakan dalam peristiwa 'Abd
ar-Rahman ibn 'Umar, ketika ia meriwayatkan sebuah Hadits melalui Abu
Hurairah tentang Shalat Dhuhur yang boleh diundurkan dari awal
waktunya bila musim panas. Menurut Abu Zur'ah bahwa itu tidak benar.
Hadits tersebut bersumber dari Abu Sa'id 'Abd ar-Rahman ibn 'Umar
menerimanya dengan serius dan tidak melupakannya. Ketika pulang ke
kotanaya, 'Abd ar-Rahman mengecek dalam kitabnya dan menyadari bahwa
ia memang salah. Kemudian ia mengirim surat kepada Abu Zur'ah dengan
mengakui kesalahannya, serta mohon untuk diberitahukan kepada orang
lain.

4. Perbandingan hadits dengan ayat Al-Qur'an yang berkaitan. Cara ini
diterapkan oleh Umar ibn Khattab ketika menolak Hadits dari Fatimah
bint Qais tentang uang nafkah bagi wanita yang dicerai.[42]

B. Metode Rasional.

Selain pendekatan atau metode komparatif tersebut, A'zami juga
menawarkan satu metode lagi, dengan sebuah statement, but was pure
reasoning or rational approach used in such critism? Menurutnya,
kemampuan rasional tidak terlalu banyak membantu dalam menerima atau
menolak Hadits Nabi SAW. Dalam beberapa literatur hadits, penalaran
murni (pure reasoning) tidak pernah digunakan. Contohnya, tentang
kebiasaan Nabi SAW. tidur dengan berbaring pada lambung kanannya, dan
sebelum tidur beliau membaca do'a-do'a tertentu, begitu juga ketika
bangunnya. Dengan menggunakan rasionalitasnya, tentu saja semua
manusia bisa saja tidur dengan berbagai model.

Dalam kasus semacam itu, 'aql tidak bisa membuktikan benar atau
tidaknya. Kebenarannya hanya dapat dipastikan dengan para perawi atau
saksi-saksi yang terpercaya. Jadi, penalaran itu menjadikan kita bisa
menerima atau tidak dari perawi-perawi tentang pernyataannya itu. Jika
bertentangan dengan akal, maka kita tolak.[43]

Selanjutnya, metode rasional juga dapat dilakukan karena berbagai hal,
setidaknya ada empat, yaitu pertentangan antara hadits dan Al-Qur'an,
hadits-hadits yang saling bertentangan, dan hadits-hadits yang
berkaitan dengan sains dan sunnatullah, tapi tidak bisa diterima
secara rasional.


1. Pertentangan antara Hadits dengan Al-Qur'an.

Caranya adalah dengan meneliti matan hadits, setelah itu dengan
Al-Qur'an. Jika haditsnya bertentangan dengan Al-Qur'an dan tidak bisa
dikompromikan, maka hadits tersebut harus ditolak dan yang dijadikan
pegangan adalah Al-Qur'an. Sekalipun, Haditsnya itu termasuk kategori
shahih dari segi sanad. Untuk kritik yang demikian, memang jumlahnya
tidak terlalu banyak. Contohnya, hadits tentang "Siksaan terhadap
mayyit yang ditangisi keluarganya".

.Haditsnya diriwayatkan oleh Tsabit dari Anas ibn Malik. Juga
diriwayatkan Shuhaib, Muhammad ibn Sirin, dan Ayah Abu Burdah. Dari
segi sanad (perawi), hadits tersebut shahih. Namun karena dari segi
isinya (matan) bertentangan dengan Al-Qur'an (wa la taziru waziratun
ukhra), maka 'A`isyah bint Abu Bakar mengkritik dan menolak hadits
itu. Ia mengatakan dalam salah satu riwayat: " semoga Allah merahmati
Abu Abdurrahman, sesungguhnya ia tidak berdusta tapi mungkin ia lupa
atau keliru, bahwa sesungguhnya hadits tersebut diperuntukkan bagi
mayat seorang wanita Yahudi yang ditangisi keluarganya. Nabi telah
bersabda:" Mereka menangisi mayat wanita Yahudi itu sedang disiksa
dalam kubnurannya". Lanjut 'A`isyah, Rasul sama sekali tidak
mengatakan bahwa seorang mu'min disiksa karena tangisan
seseorang"..[44]

Rasionalisasinya sebagai berikut, hadits tersebut tidak harus difahami
secara hakiki, namun dari segi misi (pesan moralnya) adalah
diperuntukkan kepada ahli mayit yang masih hidup, agar mereka tidak
meratapi si mayit secara berlebihan. Sekalipun, mayit sendiri tidak
akan disiksa karena tangisan tersebut.[45]

2. Hadits-hadits yang saling bertentangan.

Caranya, dengan membandingkan satu hadits dengan hadits lainnya, bila
keduanya bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, maka yang dipakai
adalah hadits yang lebih kuat dan lebih shahih dari segala seginya.
Contohnya, hadits tentang "Orang yang berpuasa dan mendapati Subuh
dalam keadaan Junub". Diriwayatkan dari Abu Bakr ibn 'Abd ar-Rahman,
mengabarkan bahwa Abu Hurairah mengatakan, "siapa yang mendapati waktu
subuh dalam keadaan junub, maka tidak boleh berpuasa". Abd ar-Rahman
ibn Harits mengingkari fatwa tersebut, lalu ia menemui 'A`isyah dan
Ummu Salamah, keduanya berkata: "Rasulullah SAW. mendapati Subuh dalam
keadaan junub dengan tidak disebabkan mimpi, kemudian beliau
berpuasa". Kemudian kembali lagi pada Abu Hurairah, setelah
menjelaskan apa yang dikatakan 'A`isyah dan Ummu Salamah, Abu Hurairah
mengatakan, "Keduanya lebih tahu dari aku mengenai hal ini. Abu
Hurairah meralat fatwanya dan menyesuaikan dengan hadits 'A`isyah dan
Ummu Salamah.

3. Hadits yang berkaitan dengan sains dan sunnatullah, tapi tidak bisa
diterima secara rasional.

Beberapa contohnya, tentang hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
muslim: "Seandainya tidak ada bani Israil maka makanan dan daging
tidak akan busuk". Secara tekstual, hadits tersebut bertentangan
dengan sains dan sunnatullah, tapi bisa saja dirasionalisasikan bahwa
hadits itu mengecam kebiasaan bani Isra'il yang selalu bersifat
kikir.[46]

Sedangkan tentang hadits-hadits lainnya, seperti lalat masuk minuman,
demam berasal dari neraka, dll. sebagaimana dikritik oleh Maurice
Bucaille.[47] Untuk pendapat semacam ini, terdapat tiga pendapat; kaum
konservatif, ekstrim, dan moderat.

Kaum konservatif, mengatakan bahwa jika hadits tersebut shahih,
meskipun berlawanan tetap harus diterima. Kaum ekstrim dengan keras
mengatakan, hadits-hadits berkaitan dengan sains harus diuji
kebenaranny secara saintis, jika bertentangan ditolak, apakah hadits
itu shahih atau tidak. Kaum moderat, berpendapat bahwa sains dapat
saja dijadikan sebagai tolak ukur kebenaran, jika memang telah menjadi
kesepakan saintis, atau dengan kata lain tidak mutlak sebagai
satu-satunya penentu kebenaran.[48]

C. Metode Kontekstual.

Maksudnya dengan metode ini atau pendekatan kontekstual atas Hadits
Nabi SAW. adalah memahami hadits berdasarkan dengan
peristiwa-peristiwa situasi ketika hadits itu disampaikan, dan kepada
siapa pula ditujukan. Dengan lain perkataan, bahwa dengan metode
kontekstual itu diperlukan sabab al-wurud al-hadits. Contohnya, hadits
mengenai keharusan berbakti kepada ibu tiga kali lipat dibanding ayah.
Jika dipahami secara tekstual, maka akan timbul kesan diskriminasi
antara berbakti pada ayah dan ibu. Padahal, secara konteks saat itu,
secara sosiologis wanita kurang dihargai dan memperoleh hak-haknya,
bahkan tertindas akibat warisan-warisan jahiliyah atas tradisi yang
melekat dari bangsa Arab saat itu.[49]

Dari paparan di atas, hingga saat ini beberapa pemikir juga tetap
banyak yang mengaplikasikannya. Seperti Muhammad al-Ghazali dalam
kitabnya, begitu juga dengan pemerhati keislaman lainnya, meskipun
tidak bersepaham dengan al-Ghazali atas pendapatnya itu. Untuk dapat
melakukan kritik Hadits lebih lanjut akan dibahas dalam sub,
"standarisasi" sebagai patokan, atau kaedah-kaedahnya.


Standarisasi

Oleh para pakar dan pemerhati Ilmu Hadits Nabi SAW., kritik hadits
sebagaimana dipaparkan di depan telah mempunyai beberapa aturan,
kaedah yang standar. Kaidah-kaidah yang dimaksud atau standar kritik
Hadits Nabi SAW., secara global dan sederhana dapat dilihat dari
pengertian tentang hadits shahih. Ibn ash-Shalah (w. 643)
mengungkapkam, hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya
(sampai ke Nabi SAW.), diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dlabith
sampai akhir sanad, (di dalam hadits itu) tidak terdapat kejanggalan
(syadz) dan cacat ('illah).[50]


Kaedah Mayor Kritik Sanad dan Matan Hadits.

Dari definisi tersebut dapat diuraikan unsur-unsur kaedah mayor hadits
shahih dalam dua kategori; pertama, shahih karena sanad, yakni
bersambung, rawinya adil, dan dlabith; kategori kedua, shahih karena
matan, yakni tidak terdapat kejanggalan (syadz) dan tidak terdapat
cacat ('illah).

Kaedah Minor Kritik Sanad dan Matan Hadits

A. Sanad (Periwayatan)

Sanad adalah penjelasan tentang jalan yang menyampaikan kita pada
materi Hadits. Untuk menentukan kualitas hadits (baca: kritik),
kedudukan sanad itu sangat penting sekali. Dikatakan Abdullah ibn
al-Mubarak bahwa, "sanad (al-isnad) itu bagian dari agama, jika sanad
itu tidak ada, niscaya siapapun dapat mengatakan apapun yang
dikehendakinya". [51]

Az-Zuhri dan ats-Tsauri juga mengatakan hal yang sama tentang
pentingnya sanad. Dikatakan az-Zuhri,"apakah engkau akan menaiki
langit tanpa tangga?", sedangkan ats-Tsauri, "sanad itu senjata orang
mu'min, jika tidak ada, bagaimana bisa membunuh?".[52]

Unsur-Unsur Kaidah Minor Kritik Sanad

1. Unsur pertama kaidah mayor, sanadnya bersambung, mempunyai unsur
kaidah minornya antara lain; muttashil, marfu', mahfudh, dan bukan
mu'allal.

2. Perawi bersifat 'adil, kaidah minornya antara lain; beragama Islam,
mukallaf, melaksanakan ketentuan agama Islam, dan memelihara muru'ah.


Unsur ketiga dari kaidah mayor perawinya bersifat dlabit dan atau
adlbath, unsur kaidah minornya antara lain; hafal dengan baik hadits
yang diriwayatkannya, mampu dengan baik menyampaikan riwayat hadits
yang dihafalnya kepada orang lain, terhindar dari syudzudz, dan
terhindar dari 'illah.[53]

B. Matan (Materi/Isi)

Yang dimaksud matan adalah sabda Nabi SAW. setelah disebutkan
sanadnya. Dalam ulum al-hadits terdapat tiga kemungkinan pembagian
tentang matan. Pertama dari segi penyampainya, meliputi; al-hadits
al-Qudsi, al-marfu', al-mauquf, dan al-maqthu'. Kedua dari segi
ilmu-ilmu yang menjelaskan pada matan, meliputi; garib al-hadits,
asbab wurud al-hadits, nasikh al-hadits wa mansukhuh, mukhtalaf
al-hadits, dan muhkam al-hadits. Terakhir yang ketiga, ilmu-ilmu yang
berkembang dari aspek matan yang diriwayatkan dengan berbagai
periwayatan dan hadits-hadits lainnya.[54]


Kaidah Minor Kritik Matan Hadits

Terhindar dari syadz dan terhindar dari 'illah merupakan dua kaidah
mayor untuk matan hadits. Untuk menjabarkan dua kaidah mayor tersebut
dalam kritik minor hadits, sebagaimana dalam sanad di atas, nampaknya
masih cukup kesulitan bagi para pemikir al-hadits. Namun sebagian
pemikir dan pemerhati Hadits Nabi SAW. telah melakukannya dengan cara
yang berbeda (secara sendiri) sebagai kesahihah suatu matan, sehingga
tidak mengherankan jika tidak semua ulama dalam mengungkapkannya sama
persis. Beberapa yang dapat disebutkan antara lain; pendapat
Al-Baghdadi (w. 463), al-Adlabi, dan terakhir dari jumhur 'ulama,
sebagaimana disebutkan oleh as-Siba'i.

Al-Baghdadi,[55] menyebutkannya sebagai berikut; tidak bertentangan
dengan akal sehat; tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur'an yang
muhkam; tidak bertentangan dengan hadits mutawatir ; tidak
bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama
sebelumnya ; tidak bertentangan dengan dalil yang pasti dan ; tdk
bertentrangan dgn hadits Ahad yg kualitas keshahihannya lebih kuat.

Al-Adlabi mengemukakannya ada empat macam; tidak bertentangan dengan
petunjuk Al-Qur'an, tidak bertentangan dengan hadits yang kualitasnya
lebih kuat, tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah,
dan terakhir susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri kenabian.[56]

Dengan maksud yang sama, jumhur 'ulama mengungkapkan, bahwa untuk
meneliti kepalsuan suatu Hadits Nabi SAW. diantara tanda-tandanya
sebagai berikut: Susunan bahasanya rancu; Isinya bertentangan dengan
akal sehat dan sangat sulit diinterpretasikan secara rasional; Isinya
bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam; Isinya beretentangan
dengan hukum alam atau sunnatullah; Isinya bertentangan dengan
sejarah; Isinya bertentangan dengan petunjuk Al-Qur'an atau Hadits
mutawatir; dan Isinya berada di luar kewajaran, dilihat dari petunjuk
umum ajaran Islam.[57]

Setidaknya, standar atau kaidah yang telah disebutkan itu, dapat
dijadikan sebagai alternatif untuk dapat mengkritik Hadits Nabi SAW.
baik dari aspek sanad ataupun matannya.

Urgensitas

Dalam awal pembahasan disebutkan, bahwa fungsi hadits Nabi SAW. bagi
umat Islam itu sangat urgen. Apalagi, dalam sejarah perkembangannya
tersebut. Karenanya, perlu sekali untuk sangat hati-hati dalam
mengambil atau menggunakannya. Bagaimanapun, hadits Nabi SAW. adalah
hasil dari ikhtiar manusia untuk menghimpun dan mengabadikan aktifitas
Nabi SAW., padahal manusia itu tidak anti lupa atau tempatnya salah.
Karena itu pula, orisinalitas suatu hadits harus dijaga. Di bawah ini
akan dipaparkan, tentang beberapa hal kenapa kritik hadits itu penting
dilakukan.

Dengan tersebarnya Islam awal ke berbagai daerah dan negeri muslim,
khususnya pada masa 'Umar ibn Khattab, hadits Nabi SAW. juga mengalami
hal yang sama. Tak dipungkiri, bahwa kemungkinan kekeliruan dalam
penyampaiannya juga timbul. Begitu juga, ketika seperempat abad
setelah Nabi SAW. wafat, dimana telah banyak kejadian, peristiwa
besar, dan pergolakan timbul. Sekedar contoh, fitnah pembunuhan Utsman
ibn 'Affan, peperangan 'Ali ibn 'Affan dengan Mu'awiyyah ibn Shofyan
telah menimbulkan perpecahan dikalangan kaum muslim.[58] Karena itu,
perlu adanya pemisahan antara hadits yang shahih dan yang tidak.

Said agil Husein al-Munawwar, ulama Indonesia yang alumnus "Ummul
Quro" Mekkah melihat urgensi kritik hadits dari berbagai segi:

1. Untuk mengetahui aspek-aspek sanad atau perawi hadits, antara
lain; tsiqoh atau tidak, dan adil atau tidak, dengan begitu akan
diketahui mana hadits yang maqbul atau ditolak.

2. Untuk mengetahui aspek kualitas matan hadits, diantaranya apakah
shahih atau dla'if, atau juga apakah suatu hadits itu benar-benar
bersumber dari Nabi SAW. atau bukan.

3. Pentingnya kritik itu, karena telah tersebarnya hadits di pelosok
dunia.[59]



Urgensi lainnya adalah dapat menangkal para kritikus Hadits Nabi SAW.,
yang berpendapat bahwa para ahli (baca: peneliti) hadits hanya
menggunakan metode kritik sanad saja, tanpa menggunakan metode kritik
matan, sehingga dikatakan mereka sering ditemukan hadits-hadits yang
semula sahih, tapi di belakang hari ternyata tidak (baca: palsu).[60]
Studi kritik (baca; metodologi) hadits di atas, sebagai model mutakhir
penelitian hadits dapat 'mematahkan' pendapat para islamolog modern.
Beberapa diantaranya adalah Ignaz Goldziher (1850-1921), Aren Jan
Wensinck (1882-1939), Joseph Schacht (1902-1969), termasuk juga Ahmad
Amin, pengarang Fajr al-Islam,[61] dll.

Senada dengan itu adalah Yusuf Qardlawi, seorang ulama Mesir yang
masyhur mengungkapkan, bahwa kritik hadits itu akan dapat
menghindarkan dari apa yang disebutmya sebagai "penyakit yang harus
dihindari", yaitu penyimpangan kaum ekstern, manipulasi orang-orang
sesat, dan pemalsuan orang-orang jahil. [62] Begitu juga, menurut M.
Al-Ghazali ketika mengungkapkan dalam kata pengantar ke-6 bukunya,
bahwa tujuannya hanyalah membersihkan Hadits Nabi SAW. dari segala
yang mencemarinya, maka perlu untuk memberikan kritikan pada beberapa
pemahaman yang keliru.[63] Meskipun upaya al-Ghazali tersebut, oleh
Rabi' bin Hadi al-Madkhali dianggap memusuhi as-Sunnah.[64]

Jadi, memang sungguh menarik dan unik sekali urgensitas kritik Hadits
Nabi SAW. dewasa ini. Bagi sebagian pemikir menyatakan sebagai pembela
Hadits Nabi SAW. tapi oleh sebagian lainnya, justru kebalikannya.
Lebih dari itu, disinilah pentingsnya "Ilmu Kritik Hadits".



Penutup


Kecenderungan meneliti secara kritis oleh para pemikir dan pemerhati
keislaman sangat besar pada ulum al-hadits, baik zaman Sahabat maupun
dewasa ini. Barangkali, dikarenakan fungsi dan peran hadits yang
sangat urgent dalam kedudukannya sebagai salah sebuah sumber ajaran
Islam. Penelitian terhadap hadits selalu berkembang terus, sesuai
kebutuhan dan kepentingan umat Islam. Seiring dengan itu, berkenaan
kesahihan suatu hadits, telah banyak ilmu-ilmu yang lahir mengenainya,
seperti 'ilm ar-rijal al-hadits, 'ilm al-jarh wa at-ta'dil, ilm
at-takhrij al-hadits, dst. hingga muncullah 'ilm an-naqd al-hadits,
yang dikaji pada pembahasan ini.

Studi kritik Hadits Nabi SAW. sebagaimana dipaparkan dalam sub
"sejarah dan perkembangan", telah mengalami pertumbuhan dan
perkembangannya yang dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Hal ini,
karena secara esensial kritik digunakan untuk mengetahui kebenaran
suatu hadits, apakah berasal langsung dari Nabi SAW. atau bikinan sang
perawi sendiri. Penelitian (kritik) tersebut, lalu diteruskan oleh
para tabi'in dan para ulama, termasuk islamolog barat, hingga saat
ini. Tentu saja, model atau metode kritiknya tidak sama persis dengan
sebelumnya, karena ia selalu berubah setiap zaman, sesuai dengan
perkembangan intelektual.

Sebagaimana dalam ilmu hadits, kritik Hadits Nabi SAW. juga mengarah
pada dua aspek, yaitu aspek sanad dan aspek matan. Karena obyek kritik
hadits adalah sumber dokumen dan teks, maka penelitiannya itu tidak
berbeda dengan penelitian sejarah. Seperti metode sejarah, kritik
sumber terbagi menjadi dua, yaitu kritik intern untuk kritik matan
(naqd al-khariji) dan kritik ekstern bagi kritik sanad (naqd
al-bathini). Untuk dapat melakukan kritik pada dua aspek tersebut,
telah digunakan berbagai metode, antara lain; metode verifikatif,
komparatif, rasional, dan kontekstual.

Penggunaan metode-metode tersebut, tentu saja tidak dapat dilepaskan
dari kaedah atau standar-standar yang telah disepakati para kritikus,
pakar ulum al-hadits, seperti al-Bagdadi, al-Adlabi, dan Jumhur 'Ulama
Hadits. Standar penelitiannya mengacu pada pengertian hadits shahih,
sebagaimana didefinisakan oleh Ibn Shalah. Dari definisi tersebut,
oleh Syuhudi Isma'il untuk memudahkannya disebut sebagai kaedah mayor
kritik sanad dan matan hadits, kemudian dari kaedah tersebut
mengandung kaedah-kaedah minor, baik untuk kririk sanad ataupun matan
hadits.

Dengan melihat perkembangannya, kritik terhadap Hadits Nabi SAW. masih
tetap mempunyai relevansi dan akurasi sampai saat ini, sehingga tidak
mengherankan jika masih sangat urgent sekali. Setidaknya, urgensitas
tersebut dilihat berbagai perkembangan kritik hadits yang ada pada
abad mutakhir, sehingga kita dapat membedakan kritik-kritik manakah
yang relevan untuk konteks saat ini, tentu saja sesuai dengan
metodologi yang dipakainya. Karena dalam kenyataannya, penelitian
dengan hadits yang sama dan alasan kritik yang sama, tetapi
menghasilkan kritik yang berbeda -sekedar tidak mengatakan bertolak
belakang--. Barangkali, itu juga termasuk salah satu urgensitas dari
masalah yang dijumpai dalam diskursus kritik Hadits Nabi SAW. masa
kontemporer.

Demikianlah, tulisan pendek mengenai studi kritik Hadits Nabi SAW.
sebagai "perngenalan" atas metodologi penelitian Hadits Nabi SAW. yang
mutakhir, khususnya setelah al-jarh wa at-ta'dil. Dengan kata lain,
dapata dikatakan, bahwa secara toeritik itu 'ilm naqd al-hadits
sedangkan dalam prakteknya menggunakan ilmu-ilmu lain, termasuk
al-jarh wa at-ta'dil.

Penulis merasa yakin bahwa tulisan ini masih terdapat kekurangan
disana-sini, karena itu tidak ada kata lain kecuali mohon maaf dan
kritik serta sarannya. Akhirnya, sesedikit apapun dari pembahasan di
atas, semoga dapat memberikan manfaat dan nuansa baru.

Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

2 Responses to "METODE PENELITIAN HADITS"

  1. mantap gang artikelnya... mampir di http://muhakbarilyas.blogspot.com/

    BalasHapus
  2. pas bngat materinya ... sukses trus ... :)

    BalasHapus

saran dan kritikan dari pembaca amat sangat sy harapkan