BAB I
PENDAHULUAN
Jika pemikiran islam pada golongan Muktazilah bercorak rasionalisme murni, maka pada masa sesudahnya berubah coraknya sedemikian rupa, sehingga bisa diterima sebagai alat memperkuat ajaran-ajaran agama dan tali penghubung taklid buta yang memegangi teks-teks atau nash penakwilan nash sebagai jalan untuk menundukkan agama kepada akal pikiran semata-mata tali penghubung tersebut diadakan oleh seseorang yang mula-mula terdidik atas paham kemuktazilahan dan memeluk ajaran-ajarannya dan pada akhirnya ia meninggalkan ajaran tersebut dan membentuk ajaran sendiri yang terkenal dengan nama Ahlus sunnah wal jama’ah. Ahli pikir tersebut ialah Abul Hasan al-Asy’ari.
Ahlus Sunah artinya orang yang mengerti atau orang yang mengetahui dan mengamalkan sunnah sedangkan Jama’ah adalah orang yang mengikuti sunnah dan ijma para sahabat Nabi saw. Berarti dapat dikatakan bahwa Ahlus sunnah wal jama’ah adalah orang-orang yang mengamalkan dan melaksanakan atau orang yang berpegang teguh dengan sunnah Nabi saw, dan para sahabatnya secara utuh dan penuh.
Oleh karena itu kami selaku pemakalah mencoba membahas tentang Ahlus sunnah wal jama’ah khususnya yang telah dirintis oleh pemikirnya yang terkenal yaitu Abu Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari. Semoga tulisan ini sudah dapat masuk dalam setandar ilmiah, setidaknya dimata mahasiswa PTIQ fakultas Syari’ah dan dosen pembimbing kami yang senantiasa mengarahkan kami.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Awal mula adanya istilah Ahlus sunnah wal jama’ah
Sebenarnya jika saja kita kembali ke zaman Rosulullah istilah ahlus sunnah wal jama’ah ini sudah ada, namun belum dipakai untuk sebuah nama atau kelompok maupun golongan, sebab pada saat itu adalah masa risalah atau masa tasyri’ dan masa wahyu. Pada saat itu pula belum ada aliran-aliran dalam Islam sebagaimana setelah wafatnya Rosulullah saw. Sebelum munculnya aliran-aliran dalam islam seperti Mutazilah, Syi’ah, Khawarij, Jabariyah, Qadariyah dan lain sebagainya, belum ada aliran tertentu sebab umat islam seluruhnya mengikuti ajaran Rosul saw, secara utuh, penuh dan kosekuen serta konsisten tanpa ada yang membuat aliran tersebut.
Setelah macam-macam cabang ilmu mulai tumbuh, termasuk ilmu kalam, mulailah timbul aliran-aliran dalam islam,termasuk aliran Mutazilah dimana kelompok ini sangat meragukan keabsahan dan kebenaran Hadits Nabi saw, merekapun berusaha menafsirkan Al-Qur’an sesuai filsafat yang sejalan dengan pemikiran dan pemahaman mereka, dan jika terjadi perbedaan prinsip, ayat Al-Qur’an yang disalahkan dan keputusan akal yang diambil. Melihat perkembangan yang semakin mengacaukan islam dan mengacak-acak Qur’an dan sunah yang dimainkan oleh Ulama Rasionalis, maka sebagai reaksi timbullah kreatifitas Ulama untuk menyelamatkan Al-Qur’an dan Sunnah serta ajaran ini dari malapetaka gempuran ngawur dari Ulama rasionalis filosofis, yang mempertahankan akal yang sangat dangkal.
Golongan penyelamat ajaran Islam ini akhirnya membuat sebuah kelompok yang disebut “AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH”. Golongan ini mulai muncul pada masa pemerintahan Khalifah Ja’far Al-Mansur (754-775) dan berkembang pesat pada pemerintahan Harun Ar-Rasyid (785-809) dan berkembang, meluas pada pemerintahan AL-Makmun (813-833) dan semakin populer setelah munculnya salah seorang ulama senior Mu’tazilah yang keluar dari kolong Mu’tazilah kemudian membangun idiologi baru dengan nama ahlussunnah wal jama’ah dan memperjuangkan penyelamatan islam dari tangan-tangan kotor, yang dikenal dengan nama Abu Hasan Al- Asy’ari kemudia beliau terkenal dengan aliran Asy’ariah.
B. Sejarah Aliran Asy’ariah
Asy-ariah merupakan aliran yang hidup hingga sekarang, berumur hampir sepuluh abad. Aliran ini tumbuh pada tahun-tahun pertama abad ke-4 H, hingga sekarang masih ada, walaupun harus menghadapi tekanan kira-kira 1½ abad. Satu saat bertarung melawan kaum rasionalis, yang diwakili khususnya oleh Mutazilah, akan tetapi kadang juga melawan naqliyin (tekstualis) yang diwakili oleh salaf ekstrim dari kalangan Hanabilan dan Karamiah. Baru kemudian ajaran-ajaran aliran ini bisa mendominasi dan menjadi mazhab resmi negara di dunia Sunni, yang dalam rangka itu ia ditopang oleh kondisi sosial-politik. Para imam meeka secara umum berlomba menjelaskan pendapat-pendapat aliran ini dan menyebarkan misinya di sepanjang zaman. Antar sesama mereka tidak mengalami perbedaan pendapat seperti yang melanda Mu’tazilah.
Berbeda dengan paham qadariah yang dianut kaum Mutazilah dan yang menganjurkan kemerdekaan, dan kebebasan manusia dalam berpikir, kemauan dan perbuatan, pemuka-pemuka Mu’tazilah yang menggunakan kekerasan dalam menyiarkan ajaran mereka, Ajaran yang ditonjolkan menjelaskan bahwa ‘inguisisi bahwa AL-qur’an adalah makhluk merupakan titik yang jelas-jelas mengubah sejarah kehidupan pemikiran dan akidah dalam islam, karena hal ini mengobarkan rasa benci dan marah dalam jiwa kaum muslimin dan mengukuhkan kecenderungan salaf untuk menghadapi gelombang rasionalis ekstrim..Gerakan pemikiran bebas tersebut yang diterima oleh banyak analisis, tidak hanya di Basrah dan Bagdad saja, tetapi juga di sebagian ibukota negara islam, bahkan menggema menembus Andalusia. Al-Ma’mun seorang khlifah pada masa itu menjadikan ajaran tersebut sebagai akidah resmi negara dan menjadikan topik bahwa Al-Qur’an tidak bersifat Qadim tetapi baru dan makhluk dan menjelaskan apabila Qur’an itu Qadim maka mereka telah menduakan Tuhan. Menduakan Tuhan berarti syirik dan syirik adalah dosa besar dan tak dapat diampuni oleh Tuhan.
Kaum Muislimin menghabiskan hampir setengah dalam keguncangan pemikiran, perdebatan berkelanjutan, cobaan sebagai imam dan tokoh pemikiran dimana sebagian dari mereka harus berurusan dengan penjara, disiksa bahkan dibunuh karena menentang bahwa al-Qur’an bukan makhluk dan Allah tidak memiliki sifat. Pahlawan dalam menghadapi mihnah(bencana) tersebut adalah Ahmad bin Hanbal yang tidak sudi mendukung pendapat penguasa, atau tidak sudi memegangi taqiah dalam masalah-masalah akidah, karena ia berpendapat “Jika seorang alim mengiakan taqiah, sedangkan orang bodoh dengan kebodohan, lantas kapan kebenaran akan tampak”.[1] Badai baru mulai reda setelah Al-Mutawakkil memegang kekuasaan pada tahun 232 H, dan mulai mengambil sikap hati-hati dan bijak. Pada tahun 237 H, ia berhasil menginstruksikan untuk menghentikan pertarungan ini. Jiwa yang berontak kini mulai tenang. Para pendukung salaf merasa bahwa pendapat mereka mendapat dukungan resmi, di samping pendapat umum.
Dengan peran yang ada mereka bersikap ekstrim, melebihi Mutazilah mendukung kejumudan dan konservatif, karena mereka mereka bersikap ekstrim dalam pendapat- pendapat mereka dan memegangi makna lahir dari nas (teks-teks agama). Yang paling ekstrim diantara mereka adalah Hanabilah yang kini mempunyai pengaruh besar di Baghdad pada tahun terakhir abad ke-3 H contohnya adalah jenazah Ahmad bin Hanbal yang bersamanya ikut pula seribu orang salaf biasa. Di samping kelompok Hanabilah yang amat ekstrim adalh kelompok Karamiah pengikut Muhammad bin Karam yeng mengetengahkan teori tasybih (antropomorfis) dan tajsim (membadankan Tuhan), yang di Syam saja pengikutnya mencapai kira-kira 20.000 orang.[2]
Dalam suasana seperti inilah Abu Hasan al-Asy’ari dilahirkan. Walaupun tumbuh dilingkungan Mutazilah dan dididik di Basrah, tetapi ia nyaris tidak pernah berontak dan pikiranyapun matang, hingga kegelisahan mulai menghinggapinya. Kondisi demikian nampak dalam persoalan yang ia tanyakan kepada guru dan pendidiknya, Abu Juba’i salah seorang tokoh besar kedua dari Mu’tazilah, nampak ia tak terseret oleh ekstrimitas Mutazilah dan salaf, Ia hendak berdiri ditengah di antara kedua aliran tersebut. Sehingga dikenal dengan Al-Asy’ariah. Aliran ini ia dirikan berlandaskan pada asas perpaduan antara kaum Salaf dengan Mutazilah, Sebagai bukti, problematika sifat-sifat Tuhan dengan perpaduan nampak begitu jelas, Di satu pihak sependapat dengan kaum salf, ia meneguhkan sifat-sifat Tuhan, sedangkan pada posisi lain, sependapt dengan kaum Mutazilah, Al-Asy’ari mengatakan bahwa sifat-sifat itu ada pada zat. Akan tetapi ia mengulang kembali apa yang telah dikatakan oleh Ibn Kilab “Tidak boleh dikatakan bahwa zat itu adalah sifat-sifat”.[3] Ini merupakan pernyataan yang kontradiksi. Al-Asy;ari tidak bisa mengingkari apa yang disebut didalam Kitab Allah dan Sunnah bahwa Allah punya singgasana, wajah dan tangan, tetapi ia menerima, sejalan dengan pandangan kaum salaf atau terkadang ia takwilkan sejalan dengan kaum Mutazilah..
Al-asy-ari berusaha keras untuk menggunakan dalil naqliah dan akliah yang kokoh untuk memungkinkan melihat Allah dengan cara memberikan kesan kepada kita seakan ia berbeda pendapat dari kaum Mutazilah, kemudian segera menetapkan bahwa peristiwa melihat Allah tidak mengkonsekuensikan arah dan ruang, tapi hanya sekedar merupakan jenis pengetahuan dan persepsi, yang jalannya adalah mata dengan cara yang tidak biasa seperti di didunia.[4] Al-Asy’ari juga mengambil sikap tengah dalam masalah sifat Kalam. Untuk itu ia menggunakan istilah kalam dalam dua pengertian : “ Yang dimaksud dengan kalam adalah al-Ma’na al-Nafsi al-Qa’im bi al-Zai (pengertian kalam yang ada pada zat). Sifat ini dikaitkan kepada Allah, adalah eternal dan azali. Sifat kalam ini juga dipergunakan pada suara-suara dan huruf-huruf yang menyampaikan pengertian ini, ini tidak diragukan lagi adalah temporal (hadisah). Dengan teori ini problematika ‘ apakah al-Qur’an adalah makhluk’ bisa dipecahkan dengan penyelesaian yang ringan dan mudah.[5] Sependapat dengan Mutazilah, al-Asy’ari menetapkan bahwa Allah Maha Adil. Namun, sependapat dengan kaum Salaf, Al-Asy’ari menolak pandangan yang mengharuskan Allah swt untuk melakukan sesuatu, walaupun itu teori al-Salah wa al-Aslah(pandangan yang mengatakan bahwa Allah harus melakukan yang baik dan terbaik), karena Allah bebas melakukan apa yang ia kehendaki.[6] Akhinya Al-Asy’ari menerima teori yang dikemukakan oleh Mu’tazilah bahwa akal bisa mengetahui kebaikan dan kejelekan yang ada di dalam benda-benda, tetapi ini tidak diharuskan kecuali berdasarkan dalil naqli. Karena setiap orang walaupun dengan akalnya bisa mengetahu Allah tetapi pengetahuan ini diwajibkan kepadanya hanya atas perintah Syara.
Itu merupakan perpaduan yang mahir, walaupun tidak terlepas dri kecaman tertentu. Ia menjaga kesucian teks agama, dengan tanpa melalaikan aspek akal yang mendukung dan memperkuat akidah. Ia menghadapi titik perbedaan yang meragukan antara kaum Salaf dan Mutazilah mengenai topik Ketuhanan yang untuk ini ia mengajukan pemecahan yang bisa diterima oleh orang awam dan memuaskan tidak sedikit dari kalangan khusus, yang kemudian mulai mengakar seiring dengan perjalanan waktu, bahkan manjadi akidah yang domonan.
C. Abu Hasan al-Asy’ari dan Teorinya
Dalam dakwahmya di Masjid Basrah, al-Asy’ari memfokuskan diri pada tiga persoalan: Al-Qur’an adalah makhluk, melihat Allah dengan mata dan perbuatan manusia. Ini menunjukkan bahwa ketiga persoalan ini merupakan masalah yang menyibukkan pikiran yang pada kenyataanya menjauhkan Salaf dari Mutazilah. Ia berusaha untuk memadukan keduanya. Dua masalah yang pertama berkaitan dengan prinsip pertama Mutazilah yaitu Tauhid, masalah yang ketiga bertumpu pada prinsip yang kedua yaitu keadilan Tuhan.
Yang pertama “Al-Qur’an itu makhluk”, berlainan dengan Al-Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, maka sesuai dengan ayat :
اِنّمَاقَولنالِشيءٍاذاارَدناهُ ان نقول له كن فيكن
Untuk penciptaan itu perku kata kun, dan untuk terciptanya kun perlu kata-kata kun yang lain; begitulah seterusnya sehingga terdapat rentetan kata-kata kun yang tak berkesudahan. Dan inilah yang tak mungkin apabila dikatakan Al-Qur’an itu tak mungkin diciptakan.[7]
Yang kedua “Allah dapat dilihat di akhirat”, demikian pendapat Al-Asy’ari. Berbeda dengan pendapat dengan Mutazilah apabilah Tuhan dapat dilihat, maka ia akan terikat ruang dan waktu dan ia memiliki sifat. Di antara alasanya yang dikemukakan, ialah bukan berarti Allah memiliki sifat lantas disamakan dengan manusia seperti Allah Maha Melihat apakah dengan mata, Mendengar dengan telinga, dsb, tentu Allah memiliki sifat tapi tidak dengan zat-Nya, selain itu bahwa sifat- sifat yang tak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa bahwa Allah itu diciptakan, sifat dapatnya Tuhan dilihat tidak harus mengandung arti bahwa Allah mesti bersifat diciptakan. Dengan demikian boleh dikatakan bahwa Tuhan dapat dilihat tidak mesti Tuhan harus bersifat diciptakan dan teriakat ruang dan waktu. Dalam surat An-Nahl (16/40): jika kami menghendaki sesuatu, Kami menyatakan “ Terjadilah” maka ia pun terjadi. Jadi bisa saja Allah itu dapat dilihat di akhirat kelak sesuai dengan surat diatas.
Yang ketiga berkaitan dengan “perbuatan Manusia” Ada sebuah dialog yang dikatakan al-Asy’ari dengan gurunya, al-Jubbai, yang konon menjadikan salah satu faktor yang menyebabkan perpisahan ketika al-Asy’ari masih beraliran Mutazilah. Dialog ini berkisar tentang tiga ssudara, dimana yang terbesar mati sebagai orang yang baik dan bertakwa, yang kedua mati sebagai orang kafir dan celaka, sedangkan yang ketiga mati masih kecil.
Murid bertanya kepada gurunya : Bagaimana nasib mereka ?... al-Jubbai menjawab, bahwa yang pertama akan masuk surga. Yang kedua masuk neraka, dan yang terakhir termasuk orang yang selamat atau pendapat Mutazilah paham al manzilah bain al-manzilahtain (posisi diantara dua posisi dalam arti posisi menengah).
Sang murid bertanya lagi, jika yang terkecil ingin memperoleh tingkatan yang lebih tinggi seperti di surga, apakh itu mungkin ?...si guru menjawab “Tidak”, karena tingkat ini hanya bisa dicapai hanya dengan jalan ketaatan dan yang mencapai tingkatan tempat yang baik itu, karena kepatuhannya kepada Tuhan.
Sang murid menambahkan; “Jika si kecil berkata apa dosaku? Padahal aku tidak suka terbatas seperti ini dan kalu saja aku hidup (hingga tua) tentu aku akan melakukan hal-hal yang termasuk klasifikasi taat dan patuh?” Sang guru menjawab; “Allah tahu bahwa jika engkau dibiarkan hidup, maka engkau akan berbuat maksiat dan kau akan kena hukum, Kematianmu itu membawa kemashalatan bagimu.
Akhirnya al-Asy’ari mengatakan; “Jika saudara yang kafir itu protes; bahwa Wahai Tuhanku, Engkau telah mengetahui keadaaku seperti halnya Engkau mengetahui keadaannya, tetapi mengapa Engkau memperhatikan kemashalatannya. Sampai disini al-Jubbai terdiam.[8]
Dialog ini nampak dibuat- buat. Mungkin dilakukan oleh sebagian dari orang Asy’ari belakagan, tetapi memang mengapresiasikan secara jelas kesulitan memadukan antara kebebasan kehendak dengan qada yang sudah dipastikan
Menurut Al-Asy’ari semua perbuatan baik dan buruk, diciptakan oleh Allah, sama sekali tidak ada keraguan dalam masalah ini, orang- orang Mutazilah beranggapan bahwa perbuatan buruk keluar dari Allah. Merupakan kesalahan tersendiri jika mengatakan bahwa orang kafir itu menciptakan perbuatan kafirnya, karena seseorang tidak menciptakan kecuali diinginkanya. Kekafiran adalah suatu yang buruk, tidak patut diinginkan, maka jika ia datang dengan tanpa kesengajaan maka tidak mungkin jika padahal penciptanya, pada hakekatnya yang bukan pencipta tidak boleh mencipta
Mutazilah melihat bahwa mengembalikan sekuruh perbuatan kepada Allah berarti bahwa manusia ada dua kemungkinan: berada dlam kenikmatan yang harus disyukuri atau berada dalam kesulitan yang harus dihadapinya dengan sabar. Bagi Al-Asy’ari tidak ada masalah dalam persoalan ini. Yang jelas ada bencana yang harus dihadapi dengan sabar seperti sakit dan kehilangan anak, tetapi juga ada bencana yang tidak boleh dihadapi dengan kesabaran seperti kekafiran dan perbuatan maksiat.[9] Ini berarti Allah menciptakan perbuatan maksiat, tetapi bukan berarti Allah memerintahkan untuk berbuat hal itu dilakukan.Al-Asy’ari melupakan pengaruh qada ini terhadap kebebsan berkehendak. Walaupun ia berusaha melepaskan melalui teori kasab. sikap rela terhadap qada Allah padahal itu wajib, terdapat kesulitan lain, yaitu kita rela terhadap kekafiran karena itu merupakan qada Allah dan Al-Asy’ari berusaha intuk melepaskan diri dari hal itu.
Jika Allah pencipta semua perbuatan, lantas apa yang tersisa untuk manusia, jika semua sudah ditentukan? Al-Asy’ari menjawab bahwa manusia mempunyai kasab dan ikhtiar. Kasab berarti semata-mata hubungan qudrat(kemampuan) dan kehendak manusia dengan perbuatan, sedangkan perbuatan merupakan ciptaan Allah, karena qudrat kita sama sekali tidak bisa berpengaruh kepada yang dikodratinya, karena ia sendiri adalah makhluk. Inti dari permasalahan kasus ini manusia wajib berusaha terlebih dahulu diiringi doa dan berikhtiar dan semua diserahkan kepada Allah.
Al-Asy’ari seterusnya menentang paham keadilan Tuhan yang dibawa kaum Mutazilah. Menrut pendapatnya Allah berkuasa mutlak dan tak ada satupun yang wajib bagin-Nya. Allah berkehendak semaunya, apabila ia memasukan orang kafir ke dalam surga dan orang beriman dimsukan ke neraka bukankah itu tidak adil, karena Allah maha berkehendak dan kehendak Allah tidak mungkin salah. Dengan demikian ia juga tidak menerima paham tentang al-wa’d wa al-wa’id.
Juga ajaran tentang posisi ditengah atau paham al-manzilah bain al-manzilahtain, posisi di antara dua posisi dalam arti posisi menengah, tempat ini ditempati bagi mereka orang yang berdosa besar tapi tetap mukmin, karena imanya masih ada, tapi karena ia bebrbuat dosa besar maka ia menjadi fasiq maka inilah tempatnya, sedangkan Al-Asy’ari bebeda dengan mutazilah karena apabila sesorang yang telang meninggal maka akan ditimbang amal perbuatannya, apabila orang tersebut memiliki dosa maka akan dimasukan terlebih dahulu ke neraka lalu ke surga, karena surga tidak bisa ditempati bagi mereka yang memiliki dosa. Berkaitan dengan posisi di tengah ini tidak ada satupun ayat yang menjelaskan tentang posisi ditengah tersebut,
PENUTUP
Kesimpulan.
Ø Firqah Al-Asy’ariah merupakan firqah yang dibangun diatas pondasi Al-Qur’an dan Hadist, sehingga ajarannya tidak bersebrangan dengan kedua pondasi tersebut.
Ø Asy’ariah yang sebelumnya adalah orang Mu’tazilah, pada akhirnya kluar dari firqah itu, maka secara mudah ia mematahkan argumen-argumen dari mu’tazilah untuk mendongkrak firqah barunya itu.
Ø Adalah hal wajar jika firqah Al-Asy’ariah bisa diterima oleh banyak kalangan, karena manhaj al-fikrnya tidak serumit yang ditawarkan oleh golongan mu’tazilah.
[1] Al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa, Kairo, 1305 halm 133
[2] Al-Maqrizi, Al Khatat, Kairo 1936, IV: 132
[3] Al-Syahrastani, al milal, hal 67
[4] Ibid., hal 72
[5] Ibid., hal 68
[6] Ibid., hal 73-74
[7] Kitab al-Luma, Kairo 1965
[8] Ibnu Khalikan, Wafiyyat al-Ayan, Kairo 1948,III: 398; al-Subkhi, Tabaqat al-Syafi’iyyah, Kairo,1964,II:250-251
[9] Al-Asy’ari, al- Luma hal 45
PENDAHULUAN
Jika pemikiran islam pada golongan Muktazilah bercorak rasionalisme murni, maka pada masa sesudahnya berubah coraknya sedemikian rupa, sehingga bisa diterima sebagai alat memperkuat ajaran-ajaran agama dan tali penghubung taklid buta yang memegangi teks-teks atau nash penakwilan nash sebagai jalan untuk menundukkan agama kepada akal pikiran semata-mata tali penghubung tersebut diadakan oleh seseorang yang mula-mula terdidik atas paham kemuktazilahan dan memeluk ajaran-ajarannya dan pada akhirnya ia meninggalkan ajaran tersebut dan membentuk ajaran sendiri yang terkenal dengan nama Ahlus sunnah wal jama’ah. Ahli pikir tersebut ialah Abul Hasan al-Asy’ari.
Ahlus Sunah artinya orang yang mengerti atau orang yang mengetahui dan mengamalkan sunnah sedangkan Jama’ah adalah orang yang mengikuti sunnah dan ijma para sahabat Nabi saw. Berarti dapat dikatakan bahwa Ahlus sunnah wal jama’ah adalah orang-orang yang mengamalkan dan melaksanakan atau orang yang berpegang teguh dengan sunnah Nabi saw, dan para sahabatnya secara utuh dan penuh.
Oleh karena itu kami selaku pemakalah mencoba membahas tentang Ahlus sunnah wal jama’ah khususnya yang telah dirintis oleh pemikirnya yang terkenal yaitu Abu Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari. Semoga tulisan ini sudah dapat masuk dalam setandar ilmiah, setidaknya dimata mahasiswa PTIQ fakultas Syari’ah dan dosen pembimbing kami yang senantiasa mengarahkan kami.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Awal mula adanya istilah Ahlus sunnah wal jama’ah
Sebenarnya jika saja kita kembali ke zaman Rosulullah istilah ahlus sunnah wal jama’ah ini sudah ada, namun belum dipakai untuk sebuah nama atau kelompok maupun golongan, sebab pada saat itu adalah masa risalah atau masa tasyri’ dan masa wahyu. Pada saat itu pula belum ada aliran-aliran dalam Islam sebagaimana setelah wafatnya Rosulullah saw. Sebelum munculnya aliran-aliran dalam islam seperti Mutazilah, Syi’ah, Khawarij, Jabariyah, Qadariyah dan lain sebagainya, belum ada aliran tertentu sebab umat islam seluruhnya mengikuti ajaran Rosul saw, secara utuh, penuh dan kosekuen serta konsisten tanpa ada yang membuat aliran tersebut.
Setelah macam-macam cabang ilmu mulai tumbuh, termasuk ilmu kalam, mulailah timbul aliran-aliran dalam islam,termasuk aliran Mutazilah dimana kelompok ini sangat meragukan keabsahan dan kebenaran Hadits Nabi saw, merekapun berusaha menafsirkan Al-Qur’an sesuai filsafat yang sejalan dengan pemikiran dan pemahaman mereka, dan jika terjadi perbedaan prinsip, ayat Al-Qur’an yang disalahkan dan keputusan akal yang diambil. Melihat perkembangan yang semakin mengacaukan islam dan mengacak-acak Qur’an dan sunah yang dimainkan oleh Ulama Rasionalis, maka sebagai reaksi timbullah kreatifitas Ulama untuk menyelamatkan Al-Qur’an dan Sunnah serta ajaran ini dari malapetaka gempuran ngawur dari Ulama rasionalis filosofis, yang mempertahankan akal yang sangat dangkal.
Golongan penyelamat ajaran Islam ini akhirnya membuat sebuah kelompok yang disebut “AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH”. Golongan ini mulai muncul pada masa pemerintahan Khalifah Ja’far Al-Mansur (754-775) dan berkembang pesat pada pemerintahan Harun Ar-Rasyid (785-809) dan berkembang, meluas pada pemerintahan AL-Makmun (813-833) dan semakin populer setelah munculnya salah seorang ulama senior Mu’tazilah yang keluar dari kolong Mu’tazilah kemudian membangun idiologi baru dengan nama ahlussunnah wal jama’ah dan memperjuangkan penyelamatan islam dari tangan-tangan kotor, yang dikenal dengan nama Abu Hasan Al- Asy’ari kemudia beliau terkenal dengan aliran Asy’ariah.
B. Sejarah Aliran Asy’ariah
Asy-ariah merupakan aliran yang hidup hingga sekarang, berumur hampir sepuluh abad. Aliran ini tumbuh pada tahun-tahun pertama abad ke-4 H, hingga sekarang masih ada, walaupun harus menghadapi tekanan kira-kira 1½ abad. Satu saat bertarung melawan kaum rasionalis, yang diwakili khususnya oleh Mutazilah, akan tetapi kadang juga melawan naqliyin (tekstualis) yang diwakili oleh salaf ekstrim dari kalangan Hanabilan dan Karamiah. Baru kemudian ajaran-ajaran aliran ini bisa mendominasi dan menjadi mazhab resmi negara di dunia Sunni, yang dalam rangka itu ia ditopang oleh kondisi sosial-politik. Para imam meeka secara umum berlomba menjelaskan pendapat-pendapat aliran ini dan menyebarkan misinya di sepanjang zaman. Antar sesama mereka tidak mengalami perbedaan pendapat seperti yang melanda Mu’tazilah.
Berbeda dengan paham qadariah yang dianut kaum Mutazilah dan yang menganjurkan kemerdekaan, dan kebebasan manusia dalam berpikir, kemauan dan perbuatan, pemuka-pemuka Mu’tazilah yang menggunakan kekerasan dalam menyiarkan ajaran mereka, Ajaran yang ditonjolkan menjelaskan bahwa ‘inguisisi bahwa AL-qur’an adalah makhluk merupakan titik yang jelas-jelas mengubah sejarah kehidupan pemikiran dan akidah dalam islam, karena hal ini mengobarkan rasa benci dan marah dalam jiwa kaum muslimin dan mengukuhkan kecenderungan salaf untuk menghadapi gelombang rasionalis ekstrim..Gerakan pemikiran bebas tersebut yang diterima oleh banyak analisis, tidak hanya di Basrah dan Bagdad saja, tetapi juga di sebagian ibukota negara islam, bahkan menggema menembus Andalusia. Al-Ma’mun seorang khlifah pada masa itu menjadikan ajaran tersebut sebagai akidah resmi negara dan menjadikan topik bahwa Al-Qur’an tidak bersifat Qadim tetapi baru dan makhluk dan menjelaskan apabila Qur’an itu Qadim maka mereka telah menduakan Tuhan. Menduakan Tuhan berarti syirik dan syirik adalah dosa besar dan tak dapat diampuni oleh Tuhan.
Kaum Muislimin menghabiskan hampir setengah dalam keguncangan pemikiran, perdebatan berkelanjutan, cobaan sebagai imam dan tokoh pemikiran dimana sebagian dari mereka harus berurusan dengan penjara, disiksa bahkan dibunuh karena menentang bahwa al-Qur’an bukan makhluk dan Allah tidak memiliki sifat. Pahlawan dalam menghadapi mihnah(bencana) tersebut adalah Ahmad bin Hanbal yang tidak sudi mendukung pendapat penguasa, atau tidak sudi memegangi taqiah dalam masalah-masalah akidah, karena ia berpendapat “Jika seorang alim mengiakan taqiah, sedangkan orang bodoh dengan kebodohan, lantas kapan kebenaran akan tampak”.[1] Badai baru mulai reda setelah Al-Mutawakkil memegang kekuasaan pada tahun 232 H, dan mulai mengambil sikap hati-hati dan bijak. Pada tahun 237 H, ia berhasil menginstruksikan untuk menghentikan pertarungan ini. Jiwa yang berontak kini mulai tenang. Para pendukung salaf merasa bahwa pendapat mereka mendapat dukungan resmi, di samping pendapat umum.
Dengan peran yang ada mereka bersikap ekstrim, melebihi Mutazilah mendukung kejumudan dan konservatif, karena mereka mereka bersikap ekstrim dalam pendapat- pendapat mereka dan memegangi makna lahir dari nas (teks-teks agama). Yang paling ekstrim diantara mereka adalah Hanabilah yang kini mempunyai pengaruh besar di Baghdad pada tahun terakhir abad ke-3 H contohnya adalah jenazah Ahmad bin Hanbal yang bersamanya ikut pula seribu orang salaf biasa. Di samping kelompok Hanabilah yang amat ekstrim adalh kelompok Karamiah pengikut Muhammad bin Karam yeng mengetengahkan teori tasybih (antropomorfis) dan tajsim (membadankan Tuhan), yang di Syam saja pengikutnya mencapai kira-kira 20.000 orang.[2]
Dalam suasana seperti inilah Abu Hasan al-Asy’ari dilahirkan. Walaupun tumbuh dilingkungan Mutazilah dan dididik di Basrah, tetapi ia nyaris tidak pernah berontak dan pikiranyapun matang, hingga kegelisahan mulai menghinggapinya. Kondisi demikian nampak dalam persoalan yang ia tanyakan kepada guru dan pendidiknya, Abu Juba’i salah seorang tokoh besar kedua dari Mu’tazilah, nampak ia tak terseret oleh ekstrimitas Mutazilah dan salaf, Ia hendak berdiri ditengah di antara kedua aliran tersebut. Sehingga dikenal dengan Al-Asy’ariah. Aliran ini ia dirikan berlandaskan pada asas perpaduan antara kaum Salaf dengan Mutazilah, Sebagai bukti, problematika sifat-sifat Tuhan dengan perpaduan nampak begitu jelas, Di satu pihak sependapat dengan kaum salf, ia meneguhkan sifat-sifat Tuhan, sedangkan pada posisi lain, sependapt dengan kaum Mutazilah, Al-Asy’ari mengatakan bahwa sifat-sifat itu ada pada zat. Akan tetapi ia mengulang kembali apa yang telah dikatakan oleh Ibn Kilab “Tidak boleh dikatakan bahwa zat itu adalah sifat-sifat”.[3] Ini merupakan pernyataan yang kontradiksi. Al-Asy;ari tidak bisa mengingkari apa yang disebut didalam Kitab Allah dan Sunnah bahwa Allah punya singgasana, wajah dan tangan, tetapi ia menerima, sejalan dengan pandangan kaum salaf atau terkadang ia takwilkan sejalan dengan kaum Mutazilah..
Al-asy-ari berusaha keras untuk menggunakan dalil naqliah dan akliah yang kokoh untuk memungkinkan melihat Allah dengan cara memberikan kesan kepada kita seakan ia berbeda pendapat dari kaum Mutazilah, kemudian segera menetapkan bahwa peristiwa melihat Allah tidak mengkonsekuensikan arah dan ruang, tapi hanya sekedar merupakan jenis pengetahuan dan persepsi, yang jalannya adalah mata dengan cara yang tidak biasa seperti di didunia.[4] Al-Asy’ari juga mengambil sikap tengah dalam masalah sifat Kalam. Untuk itu ia menggunakan istilah kalam dalam dua pengertian : “ Yang dimaksud dengan kalam adalah al-Ma’na al-Nafsi al-Qa’im bi al-Zai (pengertian kalam yang ada pada zat). Sifat ini dikaitkan kepada Allah, adalah eternal dan azali. Sifat kalam ini juga dipergunakan pada suara-suara dan huruf-huruf yang menyampaikan pengertian ini, ini tidak diragukan lagi adalah temporal (hadisah). Dengan teori ini problematika ‘ apakah al-Qur’an adalah makhluk’ bisa dipecahkan dengan penyelesaian yang ringan dan mudah.[5] Sependapat dengan Mutazilah, al-Asy’ari menetapkan bahwa Allah Maha Adil. Namun, sependapat dengan kaum Salaf, Al-Asy’ari menolak pandangan yang mengharuskan Allah swt untuk melakukan sesuatu, walaupun itu teori al-Salah wa al-Aslah(pandangan yang mengatakan bahwa Allah harus melakukan yang baik dan terbaik), karena Allah bebas melakukan apa yang ia kehendaki.[6] Akhinya Al-Asy’ari menerima teori yang dikemukakan oleh Mu’tazilah bahwa akal bisa mengetahui kebaikan dan kejelekan yang ada di dalam benda-benda, tetapi ini tidak diharuskan kecuali berdasarkan dalil naqli. Karena setiap orang walaupun dengan akalnya bisa mengetahu Allah tetapi pengetahuan ini diwajibkan kepadanya hanya atas perintah Syara.
Itu merupakan perpaduan yang mahir, walaupun tidak terlepas dri kecaman tertentu. Ia menjaga kesucian teks agama, dengan tanpa melalaikan aspek akal yang mendukung dan memperkuat akidah. Ia menghadapi titik perbedaan yang meragukan antara kaum Salaf dan Mutazilah mengenai topik Ketuhanan yang untuk ini ia mengajukan pemecahan yang bisa diterima oleh orang awam dan memuaskan tidak sedikit dari kalangan khusus, yang kemudian mulai mengakar seiring dengan perjalanan waktu, bahkan manjadi akidah yang domonan.
C. Abu Hasan al-Asy’ari dan Teorinya
Dalam dakwahmya di Masjid Basrah, al-Asy’ari memfokuskan diri pada tiga persoalan: Al-Qur’an adalah makhluk, melihat Allah dengan mata dan perbuatan manusia. Ini menunjukkan bahwa ketiga persoalan ini merupakan masalah yang menyibukkan pikiran yang pada kenyataanya menjauhkan Salaf dari Mutazilah. Ia berusaha untuk memadukan keduanya. Dua masalah yang pertama berkaitan dengan prinsip pertama Mutazilah yaitu Tauhid, masalah yang ketiga bertumpu pada prinsip yang kedua yaitu keadilan Tuhan.
Yang pertama “Al-Qur’an itu makhluk”, berlainan dengan Al-Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, maka sesuai dengan ayat :
اِنّمَاقَولنالِشيءٍاذاارَدناهُ ان نقول له كن فيكن
Untuk penciptaan itu perku kata kun, dan untuk terciptanya kun perlu kata-kata kun yang lain; begitulah seterusnya sehingga terdapat rentetan kata-kata kun yang tak berkesudahan. Dan inilah yang tak mungkin apabila dikatakan Al-Qur’an itu tak mungkin diciptakan.[7]
Yang kedua “Allah dapat dilihat di akhirat”, demikian pendapat Al-Asy’ari. Berbeda dengan pendapat dengan Mutazilah apabilah Tuhan dapat dilihat, maka ia akan terikat ruang dan waktu dan ia memiliki sifat. Di antara alasanya yang dikemukakan, ialah bukan berarti Allah memiliki sifat lantas disamakan dengan manusia seperti Allah Maha Melihat apakah dengan mata, Mendengar dengan telinga, dsb, tentu Allah memiliki sifat tapi tidak dengan zat-Nya, selain itu bahwa sifat- sifat yang tak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa bahwa Allah itu diciptakan, sifat dapatnya Tuhan dilihat tidak harus mengandung arti bahwa Allah mesti bersifat diciptakan. Dengan demikian boleh dikatakan bahwa Tuhan dapat dilihat tidak mesti Tuhan harus bersifat diciptakan dan teriakat ruang dan waktu. Dalam surat An-Nahl (16/40): jika kami menghendaki sesuatu, Kami menyatakan “ Terjadilah” maka ia pun terjadi. Jadi bisa saja Allah itu dapat dilihat di akhirat kelak sesuai dengan surat diatas.
Yang ketiga berkaitan dengan “perbuatan Manusia” Ada sebuah dialog yang dikatakan al-Asy’ari dengan gurunya, al-Jubbai, yang konon menjadikan salah satu faktor yang menyebabkan perpisahan ketika al-Asy’ari masih beraliran Mutazilah. Dialog ini berkisar tentang tiga ssudara, dimana yang terbesar mati sebagai orang yang baik dan bertakwa, yang kedua mati sebagai orang kafir dan celaka, sedangkan yang ketiga mati masih kecil.
Murid bertanya kepada gurunya : Bagaimana nasib mereka ?... al-Jubbai menjawab, bahwa yang pertama akan masuk surga. Yang kedua masuk neraka, dan yang terakhir termasuk orang yang selamat atau pendapat Mutazilah paham al manzilah bain al-manzilahtain (posisi diantara dua posisi dalam arti posisi menengah).
Sang murid bertanya lagi, jika yang terkecil ingin memperoleh tingkatan yang lebih tinggi seperti di surga, apakh itu mungkin ?...si guru menjawab “Tidak”, karena tingkat ini hanya bisa dicapai hanya dengan jalan ketaatan dan yang mencapai tingkatan tempat yang baik itu, karena kepatuhannya kepada Tuhan.
Sang murid menambahkan; “Jika si kecil berkata apa dosaku? Padahal aku tidak suka terbatas seperti ini dan kalu saja aku hidup (hingga tua) tentu aku akan melakukan hal-hal yang termasuk klasifikasi taat dan patuh?” Sang guru menjawab; “Allah tahu bahwa jika engkau dibiarkan hidup, maka engkau akan berbuat maksiat dan kau akan kena hukum, Kematianmu itu membawa kemashalatan bagimu.
Akhirnya al-Asy’ari mengatakan; “Jika saudara yang kafir itu protes; bahwa Wahai Tuhanku, Engkau telah mengetahui keadaaku seperti halnya Engkau mengetahui keadaannya, tetapi mengapa Engkau memperhatikan kemashalatannya. Sampai disini al-Jubbai terdiam.[8]
Dialog ini nampak dibuat- buat. Mungkin dilakukan oleh sebagian dari orang Asy’ari belakagan, tetapi memang mengapresiasikan secara jelas kesulitan memadukan antara kebebasan kehendak dengan qada yang sudah dipastikan
Menurut Al-Asy’ari semua perbuatan baik dan buruk, diciptakan oleh Allah, sama sekali tidak ada keraguan dalam masalah ini, orang- orang Mutazilah beranggapan bahwa perbuatan buruk keluar dari Allah. Merupakan kesalahan tersendiri jika mengatakan bahwa orang kafir itu menciptakan perbuatan kafirnya, karena seseorang tidak menciptakan kecuali diinginkanya. Kekafiran adalah suatu yang buruk, tidak patut diinginkan, maka jika ia datang dengan tanpa kesengajaan maka tidak mungkin jika padahal penciptanya, pada hakekatnya yang bukan pencipta tidak boleh mencipta
Mutazilah melihat bahwa mengembalikan sekuruh perbuatan kepada Allah berarti bahwa manusia ada dua kemungkinan: berada dlam kenikmatan yang harus disyukuri atau berada dalam kesulitan yang harus dihadapinya dengan sabar. Bagi Al-Asy’ari tidak ada masalah dalam persoalan ini. Yang jelas ada bencana yang harus dihadapi dengan sabar seperti sakit dan kehilangan anak, tetapi juga ada bencana yang tidak boleh dihadapi dengan kesabaran seperti kekafiran dan perbuatan maksiat.[9] Ini berarti Allah menciptakan perbuatan maksiat, tetapi bukan berarti Allah memerintahkan untuk berbuat hal itu dilakukan.Al-Asy’ari melupakan pengaruh qada ini terhadap kebebsan berkehendak. Walaupun ia berusaha melepaskan melalui teori kasab. sikap rela terhadap qada Allah padahal itu wajib, terdapat kesulitan lain, yaitu kita rela terhadap kekafiran karena itu merupakan qada Allah dan Al-Asy’ari berusaha intuk melepaskan diri dari hal itu.
Jika Allah pencipta semua perbuatan, lantas apa yang tersisa untuk manusia, jika semua sudah ditentukan? Al-Asy’ari menjawab bahwa manusia mempunyai kasab dan ikhtiar. Kasab berarti semata-mata hubungan qudrat(kemampuan) dan kehendak manusia dengan perbuatan, sedangkan perbuatan merupakan ciptaan Allah, karena qudrat kita sama sekali tidak bisa berpengaruh kepada yang dikodratinya, karena ia sendiri adalah makhluk. Inti dari permasalahan kasus ini manusia wajib berusaha terlebih dahulu diiringi doa dan berikhtiar dan semua diserahkan kepada Allah.
Al-Asy’ari seterusnya menentang paham keadilan Tuhan yang dibawa kaum Mutazilah. Menrut pendapatnya Allah berkuasa mutlak dan tak ada satupun yang wajib bagin-Nya. Allah berkehendak semaunya, apabila ia memasukan orang kafir ke dalam surga dan orang beriman dimsukan ke neraka bukankah itu tidak adil, karena Allah maha berkehendak dan kehendak Allah tidak mungkin salah. Dengan demikian ia juga tidak menerima paham tentang al-wa’d wa al-wa’id.
Juga ajaran tentang posisi ditengah atau paham al-manzilah bain al-manzilahtain, posisi di antara dua posisi dalam arti posisi menengah, tempat ini ditempati bagi mereka orang yang berdosa besar tapi tetap mukmin, karena imanya masih ada, tapi karena ia bebrbuat dosa besar maka ia menjadi fasiq maka inilah tempatnya, sedangkan Al-Asy’ari bebeda dengan mutazilah karena apabila sesorang yang telang meninggal maka akan ditimbang amal perbuatannya, apabila orang tersebut memiliki dosa maka akan dimasukan terlebih dahulu ke neraka lalu ke surga, karena surga tidak bisa ditempati bagi mereka yang memiliki dosa. Berkaitan dengan posisi di tengah ini tidak ada satupun ayat yang menjelaskan tentang posisi ditengah tersebut,
PENUTUP
Kesimpulan.
Ø Firqah Al-Asy’ariah merupakan firqah yang dibangun diatas pondasi Al-Qur’an dan Hadist, sehingga ajarannya tidak bersebrangan dengan kedua pondasi tersebut.
Ø Asy’ariah yang sebelumnya adalah orang Mu’tazilah, pada akhirnya kluar dari firqah itu, maka secara mudah ia mematahkan argumen-argumen dari mu’tazilah untuk mendongkrak firqah barunya itu.
Ø Adalah hal wajar jika firqah Al-Asy’ariah bisa diterima oleh banyak kalangan, karena manhaj al-fikrnya tidak serumit yang ditawarkan oleh golongan mu’tazilah.
[1] Al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa, Kairo, 1305 halm 133
[2] Al-Maqrizi, Al Khatat, Kairo 1936, IV: 132
[3] Al-Syahrastani, al milal, hal 67
[4] Ibid., hal 72
[5] Ibid., hal 68
[6] Ibid., hal 73-74
[7] Kitab al-Luma, Kairo 1965
[8] Ibnu Khalikan, Wafiyyat al-Ayan, Kairo 1948,III: 398; al-Subkhi, Tabaqat al-Syafi’iyyah, Kairo,1964,II:250-251
[9] Al-Asy’ari, al- Luma hal 45
0 Response to "AL-ASYARIYYAH"
Posting Komentar
saran dan kritikan dari pembaca amat sangat sy harapkan