Konflik Ideologis
Pada pertengahan 1940-an, perdebatan berlangsung dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Asumsi perdebatan itu kembali berkisar pada persoalan prinsipil, yakni di atas dasar apa negara
Dari naskah sidang-sidang BPUPKI kelihatan, perdebatan mengenai dasar negara sangat keras, sekalipun prosesnya masih dalam batas-batas wajar dan civilized. Ini bisa dipahami karena The Founding Father and Mothers adalah generasi baru yang terpelajar, baik dari hasil pendidikan Barat, pendidikan Islam maupun kombinasi kedua sistem pendidikan. Sejarah mencatat, pada akhirnya, perdebatan itu berakhir pada satu titik “kompromi”. Pancasila yang kemudian menjadi dasar negara Indonesia dinilai sebagai hasil kompromi maksimal pada tokoh nasional saat itu.
Sekalipun demikian, secara prinsipil, hasil kompromi itu masih bersifat longgar. Dasar negara rupanya menjadi “kitab” terbuka untuk dipersoalkan lagi. Mungkin di masa revolusi (1945-1949) perdebatan itu agak terhenti, karena para tokoh avant garde itu harus menghadapi musuh bersama yakni upaya-upaya rekolonisasi Belanda, akan tetapi pada tahun 1950-an, polemik klasik itu mencuat lagi ke pemukaan dalam bentuknya yang lebih keras. Perseteruan antara kelompok pendukung ide Pancasila (nasionalisme sekuler)) dan Islam (nasionalisme-religius) kembali mendapatkan tempat.
Pada dasarnya perdebatan di Konstituante itu positif, sebagai manifetsasi demokrasi liberal, akan tetapi karena tidak pernah menemui ujung penyelesaian, proses perdebatan itu akhirnya memicu memunculkan malapetaka baru dalam perpolitikan Indonesia. Bukan Islam atau Pancasila yang diimplementasikan sebagai dasar penyelenggaraan negara, akan tetapi justru sistem otoriterianisme. Islam maupun Pancasila dalam pengertiannya yang idealistik akhirnya harus “minggir” ke belakang.
Demokrasi Terpimpin (1959-1066) menjadi titik balik (the turning point) demokrasi paling krusial dalam sejarah
Dominasi Pancasila
Sejak saat itu, kalangan Islam ideologis tidak mendapatkan panggung yang sebanding untuk memperjuangkan kembali dasar negara Islam. Otoritarianisme membuat ekspresi politik kelompok ini “mati kutu”. Sebaliknya, sebagian kelompok nasionalis-sekuler mendapatkan panggung justru karena berlindung di balik otoriterianisme. Memang, muncul pula kelompok agama dalam formasi kekuatan politik saat itu, akan tetapi eksistensi mereka tak lebih sebagai “pelengkap” belaka untuk sebuah formalitas unsur kebangsaan. Mereka tidak mewakili arus utama kelompok Islam idiologis.
Pada masa Orde Baru, suasana politik berubah, karena pergantian rezim. Polemik Islam dan Pancasila kembali mendapatkan sedikit ruang, sekalipun di batasi dalam kerangka wacana belaka. Despotisme yang panjang, termasuk dalam bentuk deislamisasi dan depolitisasi, telah membuat kredibilitas kelompok Islam ideologis surut. Orde Baru yang pada awalnya dinilai berbaik hati kepada kelompok Islam idiologis, ternyata justru tak kalah kerasnya dibandingkan Orde Lama. Kelompok-kelompok idiologis ditekan.
Pada masa inilah Pancasila sebagai sebuah ideologi menjadi unsur determinan dalam wacana politik. Celakanya, Pancasila kembali berubah menjadi kredo untuk membenarkan perilaku otoriter penguasa. Pancasila menjadi “makhluk” yang menakutkan bagi banyak kalangan, termasuk kelompok Islam idiologis (juga kelompok kiri, mahasiswa dan kelompok pro-demokrasi yang jumlahnya minoritas). Perdebatan lama tadi pun akhirnya beralih tempat dari parlemen ke komunitas intelektual. Beberapa generasi intelektual malah memberikan “pembenaran” bagi eksistensi Pancasila, sekalipun idiologi ini telah dieksploitasi bagi kepentingan otoritarianisme.
Akan tetapi di balik itu, pada masa Orde Baru, juga terjadi transformasi lain, yakni munculnya kelompok dalam Islam yang mencari argumentasi untuk mensinergikan antara Islam dan Pancasila. Bagi mereka, tidak ada pertentangan antara Islam dan Pancasila. Sejarawan Kuntowijoyo, misalnya, melihat Pancasila sebagai objektivikasi Islam. Baginya, tidak ada sila dalam Pancasila yang bertentangan dengan Islam dan sebaliknya tidak ada ajaran dalam Islam yang tidak cocok dengan Pancasila.
Hanya saja, karena dikemukakan di zaman Orde Baru, muncul spekulasi bahwa pandangan para sarjana Islam itu memberikan pembenaran terhadap praktik otoriatanisme. Rezim ini justru menyelenggaraan otoritarianisme dengan klaim telah melaksanakan Pancasila. Karena itu masih menjadi pertanyaan, apakah pemikiran sarjana Islam perihal kesesuaian antara Islam dan Pancasila menjadi justifikasi intelektual bagi praktik otoriterianisme?
Ketika rezim otoriter runtuh dan reformasi menyeruak, pemikiran soal hubungan antara negara dan agama kembali mencuat ke permukaan. Hanya saja konteks sosio-politiknya sudah berebda.
Di era reformasi dan demokrasi, bentuk hubungan antara Islam dan negara tak serta merta koheren satu sama lain. Demokrasi justru memungkinkan menyeruaknya segala macam aspirasi, termasuk aspirasi “laten” dari kalangan Islam idiologis, yakni memberlakukan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Aspirasi itu mungkin tidak lagi menjadi benchmark partai-partai Islam, karena reputasinya merosot drastis pasca-depolitisasi dan deparpolisasi Orde Baru.
Aspirasi syariat Islam justru lahir dari lembaga-lembaga demokrasi baru, seperti parlemen lokal. Lahirnya sejumlah perda bernuansa syariat Islam di beberapa daerah justru lahir dalam konteks demokrasi lokal. Persoalan sekarang, bagaimana mencari formula yang tepat supaya Islam, Pancasila dan demokrasi tidak berbenturan satu sama lain.
Secara prinsip, ketiga entitas mungkin bisa bersesuaian satu sama lain, akan tetapi jika politik kepentingan sudah mendominasi, maka ketiganya bisa dimanfaatkan hanya untuk kepentingan parsial perorangan atau kelompok atas nama publik. Di masa Orla dan Orba, Pancasila dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan otoriter, maka di masa reformasi, tidak hanya Pancasila sebagai idiologi, Islam dan demokrasi pun bisa diperkuda untuk kepentingan sempit segelintir elite atau kelompok yang mengatasnamakan kepentingan rakyat.(CMM)
Obsesi Mengganti Pancasila
Pasca tumbangnya Orde Baru tahun 1998 dan dilanjutkan dengan era reformasi yang ditandai dengan kebebasan disegala bidang, kebebasan tersebut juga turut dinikmati beberapa kelompok Islam yang konservatif dan atau radikal. Mereka sekarang bebas untuk secara lantang dan nyaring (poten) dan bahkan secara sembunyi-sembunyi (laten) memperjuangkan (kembali) kepentingan politis dan ideologis mereka. Ironisnya, perjuangan besar itu bermuara pada obsesi mengganti Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, meski melalui banyak varian bentuk, ide, gagasan dan cita-cita yang dikembangkan dari obsesi tersebut. Varian tersebut antara lain pendirian khilafah Islamiyah, pendirian negara Islam, pelaksanaan syariat Islam dan sebagainya. Apalagi, tumbangnya Orde Baru juga dibarengi dengan problem berupa meluasnya krisis multi-dimensi, baik sosial, politik, ekonomi dan sebagainya, sehingga kondisi tersebut semakin melegitimasi obsesi mengganti Pancasila, karena dianggap telah gagal membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Selanjutnya, mereka menganggap bahwa Islam dalam segala varian bentuknya merupakan solusi atas segala problem yang ada. Oleh karena itu slogan perjuangan mereka jelas, misalnya al-Islamu huwa al-halu (Islam adalah solusi), al-Islamu huwa al-dinu wa al-dawlah (Islam adalah agama dan sekaligus negara) dsb.
Salah satu kelompok Islam tersebut, misalnya, secara lantang menyatakan bahwa tujuan dan cita-cita akhir mereka adalah mendirikan khilafah Islamiyah di bumi
Di luar kelompok di atas, ada juga kelompok yang berusaha mengganti dasar negara Pancasila, tetapi secara sembunyi-sembunyi. Kelompok ini memang tak pernah mengeluarkan suaranya untuk menggulingkan Pancasila. Yang pertama-tama mereka lakukan adalah menjadi mayoritas, meski harus mengikuti cara-cara yang demokratis seperti pembentukan partai politik, menggalang
Apapun varian bentuk, ide, gagasan, dan cita-cita kelompok-kelompok di atas, menurut saya, satu hal yang bisa dikatakan adalah bahwa mereka sebenarnya telah dan akan merongrong sendi-sendi yang paling fundamental/asasi dari negara ini, dan itu artinya mereka sedang dan akan menggerogoti NKRI.
Pada 9 April 1945 BPUPKI resmi dibentuk sebagai realisasi janji Jepang untuk memberi kemerdekaan pada
Ada dua aliran yang muncul yakni golongan Islamis yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dan golongan nasionalis (yang kebanyakan anggotanya juga beragama Islam), yang menginginkan pemisahan urusan negara dan urusan Islam, pendek kata, tidak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Golongan nasionalis menolak menjadikan
Bagi tokoh golongan nasionalis seperti Sukarno, ia berpendirian bahwa Islam tidak relevan sebagai dasar negara karena rasa persatuan yang mengikat bangsa dan melahirkan negara ini adalah spirit kebangsaan (yang tercetus pada 1928). Dasar kebangsaan bukan dalam pengertian yang sempit sehingga mengarah kepada chauvinisme, melainkan dalam pengertian yang menginternasionalisme. Tanpa pelembagaan Islam-pun, dalam negara sebenarnya aspirasi umat Islam bisa terwadahi melalui forum demokrasi. Di
Tokoh nasionalis lainnya seperti Supomo, Muhamad Yamin dan Muhamad Hatta, mereka berpendirian sama, bahwa negara ini didirikan atas dasar kebangsaan (integral), perikemanusiaan, peri ketuhanan, perikerakyatan dan kesejahteraan rakyat. Menurut Supomo, (yang banyak di ilhami filsafat Hegel dan Spinoza ini), negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Intinya bahwa negara harus mengabstraksikan pengayoman seluruh golongan masyarakat (manunggal).
Isu tentang dasar negara telah memaksa para founding fathers mengalami masa-masa sulit. Kuatnya argumen kedua golongan diatas telah mempersulit kata mufakat pada sidang pertama mereka pada 29 Mei – 1 Juni 1945. Walhasil, dalam sidang itu dasar negara belum berhasil diputuskan. Pembahasan dilanjutkan dalam panitia kecil yang terdiri dari 9 orang. Setelah melewati perdebatan panjang akhirnya sebuah kompromi politik sebagai modus vivendi (kesepakatan luhur) dalam bentuk Piagam Jakarta dapat dicapai pada 22 Juni 1945. Dalam modus vivendi itu, disepakati bahwa dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Hal ini merupakan jalan tengah antara konsep negara sekuler dan negara Islam.
Jika mencermati isi Piagam Jakarta maka negara Indonesia akan dibentuk sesuai isi pancasila seperti yang ada sekarang, hanya sila kesatu berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya (7 kata sila 1). Dalam sidang kedua BPUPKI pada 10-16 Juli 1945, isi Piagam Jakarta ternyata masih mengundang protes, terutama dari Latuharhay, Wongsonegoro, dan Hussein Djajaningrat. Mereka menilai bahwa tambahan 7 kata dalam sila 1 (Ketuhanan) akan berpotensi melahirkan tirani mayoritas dan fanatisme. Akan tetapi, protes tersebut bisa diredakan oleh Sukarno dan para anggota sidang sepakat untuk kembali kepada kesepakatan bersama sesuai hasil sidang pertama pada 22 Juni 1945.
Selanjutnya pada 17 Agustus 1945, seluruh rakyat Indonesia berada dalam perasaan suka cita menyambut penuh antusias Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Namun demikian, “duri dalam daging” dalam UUD 1945 dengan Piagam Jakarta sebagai preambule-nya masih tetap dirasakan sebagai sesuatu yang mengganggu sebagian anggota BPUPKI, terutama mereka yang berasal dari kelompok agama minoritas. Duri yang dimaksud adalah tambahan 7 kata dalam sila 1 (ketuhanan). Sehari sesudahnya, yakni pada 18 Agustus 1945, alasan dibalik kenyataan di atas menjadi jelas. Ketika ada pertemuan panitia penyusun draft UUD, informasi datang dari Tokoh Kristen asal Sulawesi Utara yakni AA Maramis yang menyatakan bahwa ia secara serius telah memprotes kalimat tambahan 7 kata sila 1 Pancasila dalam Piagam Jakarta. Muhammad Hatta, ketua pertemuan rapat, setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan dan Kasman Singodimedjo, 2 Tokoh Muslim yang menonjol, menghapus 7 kata itu. Dalam hal itu, sebagai hasil usulan yang dibuat oleh Ki Bagus Hadikusumo (yang kemudian menjadi ketua Muhammadiyah), sebuah kalimat ditambahkan dalam sila 1 dari kata Ketuhanan, menjadi kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam pandangan Ki Bagus Hadikusumo, kalimat diatas menegaskan aspek monoteisme dalam prinsip kepercayaan kepada Tuhan dan hal itu sesuai dengan ajaran Islam tentang tawhid. Akan tetapi untuk kebanyakan orang Indonesia, UUD dengan sila 1 Pancasila seperti itu dianggap netral, karena meski telah menghilangkan aspek eksklusivisme Islam seperti pada Piagam Jakarta, juga tidak sepenuhnya bisa dianggap mendukung sekulerisme. Dalam pada itu, sebenarnya makna perubahan konstitusi pada saat-saat kritis seperti diatas cukup jelas, yakni bahwa setiap usaha untuk mengubah Indonesia menjadi negara Islam menjadi tidak mungkin, karena hal itu berlawanan dengan konstitusi dasar yang telah disepakati.
0 Response to "ISLAN DAN PANCASILA"
Posting Komentar
saran dan kritikan dari pembaca amat sangat sy harapkan