TAFSIR TEMATIK

Sifat Ananiyah atau Egoistis

` Ananiyah berasal dari kata ana artinya ‘aku’, Ananiyah berarti ‘keakuan’. Sifat ananiyah ini biasa disebut egoistis yaitu sikap hidup yang terlalu mementingkan diri sendiri bahkan jika perlu dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Sikap ini adalah sikap hidup yang tercela, karena cenderung berbuat yang dapat merusak tatanan pergaulan kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari penyakit mental ini dapat diketahui dari sikapnya yang selalu mementingkan dan mengutamakan kepentingan dirinya diatas segala-galanya, tanpa mengindahkan kepentingan orang lain. Apakah demi kepentingan dirinya akan mengorbankan orang lain. Hal ini tidak akan menjadi pertimbangannya[1].

Dampak Negatif Dari Sifat Ananiyah

Mereka melihat hanya dengan sebelah mata bersikap dan mengambil tindakan hanya didorong oleh kehendak nafsu. Nafsulah yang Sifat Ananiyah akan melahirkan sifat Egosentris, artinya mengutamakan kepen-tingan dirinya diatas kepentingan segala-galanya.menjadi kendali dan mendominasi seluruh tindaknnya. Standar kebenaranpun ditentukan oleh kepentingan dirinya. Hal semacam ini di larang.

Allah berfirman :

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَآءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَاْلأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَ {71}

“Sekiranya kebenaran itu harus mengikuti kemauan hawa nafsu mereka saja tentulah akan binasa langit dan bumi dan mereka yang ada di dalamnya”. (Q.S. Al-Muminun ayat : 71)

Dari sifat ananiyah yang hanya memperturutkan hawa nafsunya sendiri akan lahir sifat-sifat lain yang berdampak negatif dan merusak, misalnya, sifat bakhil, tamak, mau menang sendiri, dhalim, meremehkan orang lain dan ifsad (meru-sak). Jika tidak segera ditanggulangi sifat ananiyah akan berkembang menjadi sifat congkak dan kibir dengan ciri khasnya Bathrul Haq menolak kebenaran, Ghomtun Nas dan meremehkan manusia. Jika sifat ini menjangkiti orang-orang yang memiliki wewenang dan potensi besar bahayanya akan berdampak luas. Peng-usaha dengan sifat ananiyah akan meng-gunakan kekayaannya untuk memonopoli ekonomi dengan tidak segan-segan meng-gilas pengusaha kecil dan menyingkirkan pengusaha-pengusaha yang dianggap saingannya, mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dengan cara dhalim dan dengan menghalalkan segala cara.

Bila penyakit ananiyah menjangkiti seorang pengusaha akan cenderung bersifat diktator, tiranis, dan absolut. Seperti halnya Fir’aun, Namrud yang memerintah dengan semena-mena. Dalam kehidupan sehari-hari bila penyakit mental ini melekat pada diri seseorang akan cenderung mental ini melekat pada diri seseorang akan cenderung sulit diatur dan merusak pergaulan dengan kedha-liman, setidak-tidaknya sering menim-bulkan masalah. Sementara mereka menganggap benar apa yang mereka lakukan.

Firman Allah :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفسِدُوا فِي اْلأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ {11}

“Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. (QS. Al-Baqoroh : 11)

Rasulullah bersabda :“Dari Abdulloh ibnu Umar r.a., Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam: “Aniaya itu menjadi kegelapan di hari kiamat”. (HR. Bukhori di dalam kitab shahihnya).

Dari Abi Hurairoh r.a. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang merusak nama baik atau harta benda orang lain maka minta maaflah kepadanya sekarang ini, sebelum datang di mana mata uang tidak laku lagi. Kalau ia mempunyai kebajikan, sebagian amal baiknya itu akan diambil sesuai dengan kadar perbuatan aniayanya. Kalau ia tidak mempunyai amal baik, maka dosa orang lain itu diambil dan ditambahkan pada dosanya”. (HR. Bukhori dalam kitab shahihnya)

Sifat ananiyah juga sering menimbulkan sikap permusuhan, padahal sikpa per-musuhan itu sangat dibenci Allah. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :

“Dari Aisyah r.a. dari Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam, Beliau bersabda: “Orang yang paling dibenci Allah ialah orang yang paling suka bermusuhan”. (HR. Bukhori)

LAWAN DARI SIFAT ANANIYAH

Lawan dari sifat ananiyah adalah itsyariyah yaitu rasa kebersamaan, kepekaan sosial dalam pergaulan sehingga mereka mendahulukan kepentingan ummat atau masyarakat walaupun terkadang memer-lukan pengorbanan dari dirinya. Jelas ini sifat mulia dan terpuji.

Sikap dan sifat ini bisa kita jumpai pada orang-orang yang akidahnya baik seperti sikap orang-orang anshor terhadap orang-orang Muhajirin yang baru saja hijrah dari Makkah ke Madinah. Allah mengabadi-kannya dalam firman-Nya:

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُو الدَّارَ وَاْلإِيمَانَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلاَيَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan orang-orang yang telah menempati kota (Madinah) dan telah beriman (kaum Anshor) sebelum kedatangan kaum Muhajirin, mereka mencintai orang-orang yang berhijrah. Dan mereka telah menaruh keinginan dalam hati terhadap apa yang telah diberikan kepada kaum Muhajirin, walaupun mereka dalam kesusahan, dan siapa yang dipelihara dari kekikiran itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr : 9).

Asbab an-Nuzul

Dikemukakan oleh Ibnu Mundzir yang bersumber dari Yazid al-Asham : bahwa orang-orang Anshar (penduduk Madinah yang masuk islam) berkata : “Ya Rasulullah, bagilah dua bagian antara kami dan antara saudara kami al-Muhajirin bumi ini”. Rasulullah SAW bersabda : “tidak, akam tetapi kalian menanggung keperluan mereka dan membagi buah korma dengan mereka, sedangkan bumi ini tetap bumi kalian”. Mereka berkata : “kami telah ridha”. Maka turunlah ayat tersebut[2].

Penyambutan kaum Anshar dan kecintaan mereka terhadap al-Muhajirin sedemikian besar, sampai-sampai ada diantara mereka yang bersedia membagi hartanya kepada al-Muhajirin dan memberi makan yang disiapkan untuk anak-anaknya demi al-Muhajirin yang membutuhkan pangan[3].

Demikianlah Rasulullah Saw. sejak awal tumbuhnya Islam telah meletakkan dasar-dasar kepe-kaan sosial, kebersamaan dan persaudaraan yang hakiki. Persaudaraan dan rasa keber-samaan yang bukan karena keuntungan materi dan fanatisme kesukuan atau ashobi-yah yang biasanya ditandai persamaan ras, warna kulit atau bahasa. Tetapi oleh rasa ukhuwwah islamiyah, sikap jiwa yang tumbuh dari kesadaran iman bahwa manusia itu ummat yang satu, yang tidak bisa hidup sendiri, dan terikat pada ketergantungan hidup satu sama lain. Kita lihat bagaimana rasa kebersamaan dan keikhlasan kaum Anshor merelakan separoh hartanya, separoh dari milinya diberikan pada saudaranya kaum Muhajir, saudara seiman seakidah.

Lebih jauh dari sekadar arti persaudaraan yang dapat mengikat antar pribadi sahabat Rasulullah, tetapi rasa kebersamaan itu menjadi tonggak dan pilar kokoh yang mampu mendukung perjuangan menghadapi tantangan-tantangan dan mampu mengenyahkan kesombongan, kedzaliman dan ke-musyrikan yang telah bercokol bertahun-tahun di negri yang tandus itu.

Kemudian tegas-tegas Allah melarang firqoh;

وَلاَ تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِن بَعْدِ مَاجَآءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلاَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمُُ

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang berfirqoh-firqoh. Dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”. (QS. Ali Imran : 105)

CARA MENEKAN SIKAP ANANIYAH

Untuk menekan sikap ananiyah dapat kita lakukan dengan cara menghidupkan dan mengembangkan sikap itsariyah yaitu dengan :

1) Menyadarkan diri bahwa manusia itu diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama. Kesadaran ini akan melahirkan sikap menghargai orang lain. Menghargai orang lain artinya mengenal, memahami sekaligus mencintai sesama.

2) Membiasakan diri untuk bershodaqoh dan beramal untuk orang lain.

3) Menyadari bahwa manusia hidup membutuhkan orang lain. Dia harus merelakan dirinya karena dirinya merupakan bagian dari satu sistem kehidupan yang saling membutuhkan.

4) Menekan hawa nafsu dan memupuk sikap tenggang rasa dan belas kasihan.

5) Menyadari bahwa hidup adalah pengabdian, setiap pengabdian diperlukan perjuangan dan setiap perjuangan memerlukan pengorbanan dan teman.

6) Menyadari bahwa sikap ananiyah bila dibiarkan akan mengarah pada sikap congkak dan takabur yang membinasakan dan dibenci oleh Allah.

7) Menanamkan dan membiasakan diri dengan sikap tawadhu, syukur, ikhlas dan tasamuh karena sifat-sifat tersebut akan mengikis habis sifat-sifat ananiyah.

8) Menghayati dan mendalami setiap butiran perintah ibadah secara universal, seperti ibadah sholat, shoum, zakat dll.

Sebenarnya manuasia telah mencurahkan perhatiannya dan usaha yang sangat besar untuk mengetehui dirinya, kendatipun kita memiliki perbendaharaan yang cukup banyak dari hasil penelitian para ilmuan, filusuf,sastrawan, dan para ahli bidang kerohanian sepanjang masa ini, Tapi kita(manusia) hanya mampu menetahui dari segi tertentu dan inipun pada hakikatnya dabagi lagi menurut tata cara kita sendiri. Pada hakikatnya, kebenyakan pertanyaan- pertanyaan yang diaajukan oleh mereka yang mempelajari manusia pada diri mereka sendiri hingga kini masih tetap tanpa jawaban.

Dalam bukunya Man the Unknown, Dr. A. Carrel menjelaskan kesukaran untuk menjeslakan untuk mengetahui hakiakt manusia. Dia mengatakan, bahwa pengetahuan tentang makhluk-makhluk hidup secara umum dan manusia khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya[4].

KESIMPULAN

Sifat ananiyah ini biasa disebut egoistis yaitu sikap hidup yang terlalu mementingkan diri sendiri bahkan jika perlu dengan mengorbankan kepentingan orang lain dan Sifat ananiyah juga sering menimbulkan sikap permusuhan, padahal sikpa per-musuhan sangat dibencioleh Allah dan Rasul-Nya oleh karena itu untuk menghindarkan diri dari sifat tersebut, kita (manusia) harus banyak bermuhasabah dan menyadari bahwa manusia adalah mahluk yang saling membutuhkan.

REFRENSI

* Shihab, M. Quraisy, Tafsir al-Misbah, Penerbit: Lentera Hati, Jakarta, 2003.

* Shihab, M. Quraisy, Wawasan Al-Qur’an, Penerbit: PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2007.

* As-suyuti, Jalaluddin, Lubanun Nuquli Fii Asbabin Nuzul, Penerbit: CV. Asy-Syifa’, Semarang, 1993.

* Http:// mentoring 98.wordpress.com



[1] Http:// mentoring 98.wordpress.com

[2] Jalalluddin As-Suyuti, Lubabu nuquli fii Asbabin Nuzul, (Semarang: CV. AsySyifa’), 1993, hlm.530.

[3] M. Quraish Syihab, Tafsir al-Misbah,(Jakarta:Lentera Hati), 2003,Jld,14,hlm.117.

[4] M.Qurash Syihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: PT. Mizan Pustaka), 2007, hlm. 365.

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

0 Response to "TAFSIR TEMATIK"

Posting Komentar

saran dan kritikan dari pembaca amat sangat sy harapkan